Tampilkan postingan dengan label sentra usaha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sentra usaha. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Oktober 2011

SENTRA OLEH-OLEH HAJI, TANAH ABANG


Peluang Usaha


Selasa, 04 Oktober 2011 | 14:10  oleh Ragil Nugroho
SENTRA OLEH-OLEH HAJI, TANAH ABANG
Sentra oleh-oleh haji Tanah Abang: Beli oleh-oleh tidak harus ke Arab (1)

Selain terkenal sebagai sentra tekstil, Pasar Tanah Abang juga dikenal sebagai pusat oleh-oleh haji. Jelang musim haji, sekitar 90 pedagang oleh-oleh khas Arab Saudi sudah sibuk. Mereka bersiap menyediakan oleh-oleh jemaah haji yang pulang dari Mekkah.

Bagi warga ibu kota, tentu nama Pasar Tanah Abang sudah sangat dikenal. Di pasar inilah segala macam tekstil dan produk tekstil diperjualbelikan. Bahkan bisa dibilang inilah pasar grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Namun, ada sisi lain di Pasar Tanah Abang yang tak kalah menariknya. Ya, bagi yang belum tahu dan tahun ini akan berangkat menunaikan ibadah haji, di Pasar Tanah Abang ini ada pusat oleh-oleh haji.

Di sini, segala macam produk yang biasa dibawa jemaah haji dari Tanah Suci tersedia. Aneka produk Timur Tengah itu dengan mudah ditemukan di pasar ini. Untuk menemukan penjual oleh-oleh haji itu juga tidak sulit. Para pedagang ini banyak membuka toko di sebelah kiri dan kanan jalan KH Mas Mansyur. Lokasi bisa ditempuh dengan waktu 15 menit dari Jalan Casablanca.

Oleh-oleh haji yang dijual pedagang itu beragam, mulai dari buah kurma, kacang arab, air zam-zam, minyak habatusauda, minyak zaitun, teko, lampu, kopiah, baju, sajadah, permadani, tasbih, dan masih banyak lagi.

Beberapa toko menjual parfum khas Arab, termasuk pacar kuku. Sebagian pedagang juga menjual CD dan MP3 musik Arab. "Dari pada berat-berat membawa oleh-oleh dari Arab mendingan belanja ke kami saja," kata Hamzah Fathoni, pemilik Toko Kafilah di Pasar Tanah Abang itu.

Pelanggan Hamzah kebanyakan jemaah haji yang baru pulang dari Tanah Suci. Mereka membeli oleh-oleh untuk menutup kekurangan buah tangan yang dibeli di Arab Saudi. "Kalau beli ke kami, jemaah haji tak perlu repot memikirkan bagasi pesawat," kata Hamzah.

Pedagang oleh-olah haji tentu bukan Hamzah doang, karena di sini setidaknya ada 90 pedagang yang berjualan. Kebanyakan mereka adalah warga keturunan Arab. Selain di jalan KH Mas Mansyur, puluhan pedagang lain berada di lantai 5 Blok A, Pasar Tanah Abang.

Menurut Hamzah, pedagang oleh-oleh haji di pasar Tanah Abang sudah ada sejak tahun 1980-an. "Ketika itu baru ada empat pedagang warga keturunan Arab," ujar Hamzah.

Sementara toko Kafilah milik Hamzah sudah berdiri sejak tahun 1991. Toko itu merupakan warisan dari orang tuanya. "Jumlah toko makin ramai setelah tahun 2000," terang Hamzah.

Bertambahnya jumlah pedagang itu tak luput dari ramainya pembeli yang mencari oleh-oleh haji. Kondisi itu didukung oleh beragamnya produk dan pilihan yang dijual pedagang. Di pasar ini, jemaah haji gampang menemukan oleh-oleh nan mahal hingga yang murah.

Buah kurma misalkan, tersedia dari harga Rp 50.000 per kilogram (kg) hingga ada yang Rp 350.000 per kg, tergantung jenisnya. "Paling mahal jenis kurma Nabi yang dipercaya menyembuhkan penyakit," kata Salsabila, pemilik Toko Barokah.

Begitu juga harga berbagai jenis kacang Arab. Ada jenis kacang arab keju, mentega, dan kacang madinah. Harga mulai Rp 40.000 hingga Rp 65.000 per kg. Pedagang mengklaim, harga jual oleh-oleh haji itu tidak jauh beda dengan harga di Arab Saudi.

Untuk air zam-zam dijual antara Rp 225.000-Rp 450.000 per galon. Adapun tasbih, teko, gelas, dan sajadah, dijual dari rentang harga Rp 25.000-Rp 135.000.



Peluang Usaha


Rabu, 05 Oktober 2011 | 17:22  oleh Ragil Nugroho
SENTRA OLEH-OLEH HAJI, TANAH ABANG
Sentra oleh-oleh haji Tanah Abang: Tambah pasokan sambut musim haji (2)

Pedagang oleh-oleh haji di pasar Tanah Abang, Jakarta sudah menambah stok untuk menghadapi kenaikan permintaan dari jemaah haji yang yang kembali ke Indonesia. Agar produk tersedia, sebagian pedagang mengimpornya sejak Agustus lalu, langsung dari Arab Saudi.

Hari Raya Idul Adha atau akrab disebut Lebaran Haji jatuh tanggal 10 Dzulhijah atau 6 November 2011. Saat itu, umat Islam dari seluruh penjuru dunia menunaikan ibadah haji di kota Mekkah, Arab Saudi.

Walau Lebaran Haji masih lama, kesibukan begitu terasa di sentra oleh-oleh haji di pasar Tanah Abang. Puluhan pedagang sudah sibuk memajang dagangan, berupa oleh-oleh khas haji seperti kurma, kacang arab, air zam-zam, sajadah di tokonya.

Mereka sibuk menghadapi kenaikan permintaan saat para jemaah haji pulang ke Tanah Air. Tak hanya melayani pelanggan yang datang langsung ke toko, mereka juga menerima pesanan dari pelanggan lewat telepon. "Biar masih sebulan lagi, pelanggan sudah ramai," ujar Hamzah Fathoni, pemilik toko Kafilah di Tanah Abang.

Untuk mengantisipasi kenaikan permintaan, Hamzah bahkan sudah menimbun barang-barang dagangannya jauh-jauh hari. Ia mengaku, paham betul kapan waktu ramai pembeli. Wajar saja, karena ia sudah bergelut dalam bisnis ini sejak 10 tahun silam.

Untuk menambah stok oleh-oleh haji, Hamzah mengimpornya langsung dari Arab Saudi. "Kebetulan, ada saudara yang jadi eksportir di sana," kata Hamzah.

Agustus lalu, Hamzah bahkan sudah menerima kiriman tiga kontainer oleh-oleh haji dari Arab Saudi. Kiriman itu langsung ia terima di pelabuhan Tanjung Priok. "Ini bisnis keluarga kami yang di Arab Saudi dan yang di Indonesia," kata Hamzah yang enggan menyebut nilai impor itu.

Baru-baru ini, dia juga mendatangkan produk makanan seperti kurma, air zam-zam dan kacang arab. "Sebulan sebelum Lebaran Haji, stok kami sudah ada semua," ungkap Hamzah.

Ia memperbanyak stok sejak jauh-jauh hari karena pelanggannya tak hanya sebatas Jabodetabek saja, tapi juga datang dari daerah. "Untuk pelanggan yang jauh, pesanan saya kirim pakai jasa logistik," terang Hamzah.

Ia juga melayani pesanan dari pedagang. Seperti bulan ini, pesanan dari pedagang sudah mulai ramai. Apalagi, kata Hamzah, harga yang ia banderol saat ini masih terbilang miring ketimbang saat Lebaran tiba. "Saat Lebaran harga sudah naik 50%," kata Hamzah yang punya pelanggan di Sumatra dan Jawa.

Roni Rizal, pemilik Toko oleh-oleh haji Toyyibah, juga sudah menambah stoknya dengan impor langsung dari Arab Saudi. Lewat teman lamanya saat masih kuliah di Kairo, lulusan Al-Azhar, Kairo, Mesir ini mendapatkan pasokan dagangan oleh-oleh khas haji.

Menurut Roni, impor langsung oleh-oleh haji dari Arab Saudi sejatinya bisa dilakukan sendiri lewat biro jasa eksportir di Arab. Tapi, Roni enggan menggunakan jasa itu karena biayanya mahal. "Kalau sudah ada kenalan dan saling percaya, lebih gampang dan prosesnya lebih murah," kata pria yang sudah 10 tahun berbisnis oleh-oleh haji itu.

Dari semua jenis barang impor, Roni memperbanyak air zam-zam karena air ini yang paling laris. "Dari total impor saya, 60% nya air zam-zam," ujar Roni yang juga enggan menyebut besaran nilai impornya itu.


Peluang Usaha

 
Kamis, 06 Oktober 2011 | 15:56  oleh Ragil Nugroho
SENTRA OLEH-OLEH HAJI, TANAH ABANG
Sentra oleh-oleh haji Tanah Abang: Panen raya, saat musim haji tiba (3)

Tradisi membawa oleh-oleh haji mendatangkan berkah bagi pedagang oleh-oleh haji di Tanah Abang. Saat musim haji, omzet pedagang naik hingga 200%. Selain air zam-zam dan kurma, ada tren kenaikan penjualan produk herbal dari Arab seperti minyak habatusauda.

Rasanya memang tak afdol kalau pulang dari Tanah Suci Mekkah tak membawa buah tangan. Apalagi kita punya tradisi: silakan pergi asal pulang membawa oleh-oleh. Bagi si penerima oleh-oleh, mungkin akan berucap: tak soal datang sendiri, asalkan merasakan oleh-olehnya.

Kuatnya tradisi oleh-oleh itulah yang dimanfaatkan oleh para pedagang oleh-oleh haji di Pasar Tanah Abang. Apalagi, dari tahun ke tahun, koleksi oleh-oleh haji di pasar ini semakin lengkap saja. Jadi, tak perlu heran, saat musim haji, pasar ini selalu dipenuhi mantan jemaah yang baru menunaikan ibadah haji.

Para jemaah ini membeli oleh-oleh di Tanah Abang, bukannya tanpa alasan. Setidaknya, dengan membeli oleh-oleh di sini, ongkos belanja jadi lebih irit karena tak perlu menambah ongkos kargo pesawat yang tentu sangat mahal.

Hamzah Fathoni, pemilik toko oleh-oleh haji Kafilah di Tanah Abang mengaku selalu memanen omzet berlipat saat musim haji tiba. "Kenaikan omzet bisa mencapai 200%," ungkap Hamzah.

Dalam musim haji, Hamzah bisa mendulang omzet hingga Rp 45 juta per hari. Sementara pada hari-hari biasa, Hamzah hanya mampu meraih omzet Rp 15 juta.

Demikian juga dengan Roni Rizal, pemilik toko Toyyibah. Seperti Hamzah, dia juga menikmati kenaikan omzet yang besar. Lihat saja, kalau di hari biasa dia hanya mampu menangguk omzet tak lebih dari Rp 10 juta per hari, di musim Lebaran, omzetnya bisa tembus Rp 25 juta per hari

Pedagang sendiri sudah punya patokan kapan musim haji tiba, yakni sejak sebulan sebelum Lebaran Haji dan sebulan setelahnya. Pertanda lain, ketika kelompok terbang (kloter) pertama haji tiba di Tanah Air hingga kedatangan kloter terakhir.

Para pedagang perlu mengetahui pasti hal ini. Maklum, ibaratnya petani, saat musim haji adalah saatnya memanen laba. "Musim haji itu adalah masa panen kami," ujar Hamzah, sumringah.

Menurut Roni, sebenarnya penjualan di saat lebaran Idul Fitri juga bagus. Omzet pun bisa naik meski tak setinggi saat musim haji. Saat Lebaran, yang paling laris adalah penganan Arab dan sandang, sajadah, dan tasbih. "Yang paling laris, jelas baju muslimah," ujar Roni.

Dari sekian banyak aneka bentuk oleh-oleh haji, oleh-oleh makanan seperti air zam-zam dan kurma, tetap menjadi pilihan favorit. Setelah itu ada lampu arab, teko, dan juga gelas arab. "Kurma dan air zam-zam menjadi oleh-oleh wajib," kata Hamzah.

Roni pun menikmati segarnya berjualan air zam-zam dan lezatnya berniaga kurma. Namun, Roni bilang, ada tren baru dalam penjualan oleh-oleh haji tahun ini. "Obat herbal dari Arab sekarang lebih laris daripada tahun lalu," kata Roni.

Obat herbal yang mengalami kenaikan permintaan itu adalah minyak jintan hitam atau dikenal dengan nama habatusauda. "Kenaikan bisa 50% ," kata Roni.

Menurut Roni, kenaikan permintaan habatusauda terjadi karena meningkatnya tren pengobatan alternatif. Dalam menjual habatusauda itu, Roni menjualnya dalam dua bentuk cair dan kapsul.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/79186/Sentra-oleh-oleh-haji-Tanah-Abang-Tambah-pasokan-sambut-musim-haji-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/79044/Sentra-oleh-oleh-haji-Tanah-Abang-Beli-oleh-oleh-tidak-harus-ke-Arab-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/79296/Sentra-oleh-oleh-haji-Tanah-Abang-Panen-raya-saat-musim-haji-tiba-3-

Selasa, 04 Oktober 2011

SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT

Peluang Usaha

 
Kamis, 29 September 2011 | 15:44  oleh Fahriyadi
SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya sudah ada sejak seabad silam (1)
Anda ingin membeli golok? Coba datang ke Kampung Galonggong, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Di kampung ini sejak lima tahun lalu, telah tumbuh dengan pesat kerajinan golok. Ada sekitar 20 perajin yang ada di sentra ini.

Kabupaten Tasikmalaya memang terkenal sebagai gudang produk kerajinan. Beberapa kerajinan, seperti kerajinan payung kertas atau mendong, kerajinan bordir, hingga kelom, ada di kota ini.

Namun, sebenarnya ada satu lagi sentra kerajinan yang mulai kondang sejak satu dasawarsa silam, yakni sentra kerajinan golok. Letak sentra ini di Kampung Galonggong, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya.

Menurut cerita, Kampung Galonggong memang sudah terkenal sebagai sentra produksi golok sejak zaman Belanda. Namun, para perajin di kampung itu baru menggelar dagangan secara terbuka pada medio 1990-an.

Enok Wida, pemilik PD Galonggong Suci di sentra kerajinan Golok ini mengungkapkan, di sentra kerajinan golok kini ada 20 perajin sekaligus pedagang golok. Sentra ini baru benar-benar terbentuk pada tahun 2000.

Perempuan pemilik kios golok berukuran 3x3 meter ini mengaku telah terjun ke usaha ini sejak 1999 lalu. "Saat saya membuka kios, baru ada empat pedagang termasuk saya. Tapi lama-lama banyak juga yang ikut jualan," ujar Enok.

Enok menambahkan, memang sudah lama warga Kampung Galonggong telah menjadi perajin golok dan pisau. Pekerjaan ini berlangsung turun temurun. "Sekitar 1.000 orang atau 75% dari warga Galonggong adalah perajin dan pedagang golok," jelasnya.

Halimah, pemilik UD Sepakat, yang juga menjual aneka jenis golok dan pisau di kios berukuran 2x3 meter juga mengakui bahwa tak dapat dipungkiri kerajinan golok telah menjadi "nyawa" bagi warga Kampung Galonggong.

Perempuan berusia 60 tahun yang mulai berdagang golok sejak tahun 2000 ini menyatakan langgengnya kerajinan golok di Galonggong selain karena alasan tradisi, juga lantaran warga tak punya pilihan pekerjaan lain. "Selain keahlian yang menurun pada anak dan cucu mereka, kebanyakan dari mereka bingung mencari pekerjaan lain," tegas perempuan yang kini juga mewariskan usaha ini kepada kedua putranya.

Halimah menambahkan, lantaran tradisi pembuatan golok nan kuat di Galonggong, membuat banyak agen atau distributor alat-alat pertanian hingga kolektor golok datang ke tempat ini. "Riwayat kampung ini memang erat dengan kerajinan golok jadi sulit jika berusaha mengubah sejarah tersebut," jelas Halimah yang bersuamikan perajin golok.

Alasan Halimah mau berdagang golok secara langsung setelah dia melihat banyak orang datang ke kampungnya hanya untuk mencari golok, pisau, sabit, dan berbagai alat pertanian.

Sementara bagi Eman Suherman, salah satu perajin golok di Kampung Galonggong, faktor lingkunganlah yang membuatnya beralih profesi menjadi perajin golok. "Setelah kembali dari rantau, saya memutuskan untuk jadi perajin golok karena mayoritas warga di kampung ini adalah pembuat golok," ungkap lelaki yang telah jadi perajin selama 17 tahun ini.

Eman sendiri membuat golok khusus untuk satu toko yang ada di sentra itu. Menurut Eman, golok buatannya pun cukup laku di pasaran. Karena itu, dia yakin, potensi kerajinan golok di kampungnya masih bisa berkembang lebih baik kalau perajin di situ mau mempertahankan kualitas dan semakin kreatif membuat aneka desain golok.

Ia menuturkan, di Ciamis yang berbatasan langsung dengan Tasikmalaya, kini juga sudah berdiri sentra kerajinan golok. Namun produk golok di situ masih kalau dibandingkan dengan produk golok Galonggong.

Lelaki 42 tahun ini mengaku sebagai generasi ketiga dari perajin golok di Galonggong. Eman pun meyakini, kerajinan ini masih bisa langgeng hingga 10 atau 20 tahun ke depan. "Selama golok menjadi kebutuhan primer petani rasanya kerajinan dan usaha perdagangan golok ini masih bisa bertahan lama," tutupnya.

Jumat, 30 September 2011 | 15:47  oleh Fahriyadi
SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya: Menangguk rezeki bila pesanan datang (2)
 
Para pembeli golok dan pisau tidak hanya dari datang dari warga lokal Tasikmalaya tapi juga seantero Jawa Barat, bahkan dari seluruh penjuru Indonesia. Besarnya pasar ini menjadi rezeki nomplok bagi pedagang di sentra kerajinan golok di Kampung Galonggong, Tasikmalaya.

Meski letak sentra kerajinan dan perdagangan golok ini jauh dari pusat kota Tasikmalaya, nyatanya tak menyurutkan para pecinta golok untuk datang ke Galonggong.

Menurut Enok Wida, pemilik PD Galonggong Suci, yang menjual aneka golok dan pisau, meski jalan tempat dia berjualan sepi oleh lalu lalang kendaraan, hal itu tak membuat usahanya mundur. "Biasanya, orderan datang via telepon dari para langganan tetap atau pelanggan baru yang umumnya datang saat hari libur," tutur ibu satu anak ini.

Biasanya pembeli yang mengorder via telepon tak membeli sebilah dua bilah golok. Mereka membeli hingga lusinan. Itulah sebabnya, Enok mengaku, kalau yang datang ke sentra ini hanya pembeli eceran, susah untuk mendapatkan untung memadai. "Penjualan secara satuan setiap harinya sangat kecil jumlahnya," ungkapnya.

Saat KONTAN menyambangi kios milik wanita 30 tahun ini, memang lagi sepi. Demikian juga dengan kios lainnya. Padahal, letak sentra ini sendiri terletak di Jalan Raya Banjar yang menghubungkan Tasikmalaya dan Banjarnegara. Sepinya pembeli eceran itulah yang membuat pedagang mengandalkan orderan golok dalam partai besar.

Enok menambahkan, produk jualannya ini telah merangsek ke seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Solo, Bandung, Medan, dan Makassar. "Sebulan kami bisa menjual hingga lima kodi dengan bilah golok ukuran normal antara 13 cm-16 cm dengan harga Rp 35.000 - Rp 75.000 per bilah," terangnya.

Selain itu, para perajin dan juga pedagang bisa mendapat untung tambahan kalau ada pesanan golok khusus untuk dikoleksi. "Biasanya bentuk golok pesanan itu mirip samurai dengan waktu pembuatan selama lima hari dengan harga Rp 1,5 juta per bilahnya," jelas Enok.

Oh, ya, pemesan golok koleksi ini selalu saja ada, lo, setiap bulannya. Bahkan Enok mengaku pernah mendapat pesanan golok dari seorang jenderal polisi.

Tak hanya golok, kerajinan pisau pun laris manis. Meski harga jual pisau ukuran 7cm - 22 cm relatif mahal, yakni berkisar Rp 10.000 - Rp 70.000 per bilahnya, perajin di Galonggok mampu membuat hingga 30 kodi sampai 40 kodi setiap bulannya. Dalam sebulan Enok bisa mendulang omzet hingga Rp 30 juta dari usahanya ini.

Hal serupa juga dirasakan Halimah, pemilik UD Sepakat yang menjual golok, pisau, serta perkakas pertanian di sentra ini. Menurut Halimah, tren penjualan dari pengunjung memang tak menentu, Namun, wanita 60 tahun ini masih dapat menjual hingga 80 bilah golok per bulan dengan rentang harga Rp 35.000-Rp 750.000 per bilah. Untuk pisau, Halimah menjual antara Rp 5.000-Rp 35.000.

Untuk penjualan pisau, Halimah mampu menjual hingga ratusan bilah per bulan. "Omzet saya sekitar Rp 15 juta-16 juta per bulan," jelas Halimah yang membuka kios dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam ini.

Halimah bilang bahwa tren penjualan meningkat 15%. "Tapi 2011, ini cenderung stabil," ungkapnya.

 
Senin, 03 Oktober 2011 | 16:13  oleh Fahriyadi
SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya: Kendala menebas ekspansi bisnis golok (3)

Tumbuhnya aktivitas kerajinan dan perdagangan golok di kampung Galonggong, Tasikmalaya berimbas pada suplai tenaga kerja. Produsen golok mulai kesulitan mencari tenaga kerja terampil. Tidak hanya itu mereka juga mengeluhkan ada kenaikan harga bahan baku tanduk.

Walaupun mampu meraup omzet puluhan juta rupiah saban bulan, bukan berarti produsen golok, pisau, dan alat pertanian di Kampung Galonggong, Tasikmalaya, luput dari masalah.

Salah satu masalah yang dihadapi pengusaha benda tajam itu adalah minimnya pasokan tenaga kerja terampil. Penyebabnya adalah banyak perajin golok memilih untuk merintis usaha sendiri.

Kesulitan mencari tenaga kerja itu dialami Halimah, produsen golok merek UD Sepakat. Ia bahkan kesulitan menambah produksi karena minimnya pekerja. "Sementara permintaan selalu datang," keluh Halimah.

Tak jarang, Halimah mesti membatalkan pesanan karena produksi tersendat. Kondisi itu sering ia alami ketika melayani pesanan golok milik kolektor. "Golok kolektor itu membutuhkan pekerja yang ahli dan pengalaman," jelas Halimah.

Untuk mendirikan usaha kerajinan sekaligus perdagangan golok, setidaknya butuh tiga pekerja yang memiliki keahlian berbeda. Mulai dari keahlian membentuk golok, keahlian mengasah hingga keahlian mengukir gagang golok.

Sementara itu, keahlian membuat golok tidak diperoleh dari jenjang pendidikan, tapi dari jam terbang pekerja. "Semakin lama ia bekerja, ia semakin mahir dan gajinya semakin besar," terang Halimah.

Eman Suherman, salah pembuat golok di kampung Galonggong mengakui kesulitan produsen golok itu. Ia bilang tenaga kerja seperti dirinya jumlahnya memang sudah terbatas. "Apalagi mencari perajin yang mahir membentuk dan mengasah golok sekaligus," kata pria yang sudah bertahun-tahun jadi perajin golok itu.

Dalam membuat golok, Eman mendapat upah antara Rp 10.000 - Rp 70.000 per bilah, tergantung harga goloknya. "Dalam sehari saya bisa dapat Rp 50.000 terkadang lebih," ucapnya.

Bayaran untuk si perajin itu relatif seragam, meskipun merek goloknya berbeda. "Standar gaji kami seperti diseragamkan pengusaha golok itu," kata warga asli Galonggong itu.

Karena modal terbatas, Eman tak kunjung bisa merintis usaha sendiri dan memperdagangkan merek golok sendiri. "Ekonomi di sini berkembang, tapi tidak merata pada pembuat golok seperti kami," keluh Eman. Dia berharap mendapat bantuan modal dari pemerintah agar bisa mandiri.

Kondisi sama juga disampaikan Yayat Sutisna, yang ahli mengukir golok dan membuat gagang. Yayat juga ingin membuka usaha sendiri tidak tergantung pada pemodal.

Selain masalah tenaga kerja, produsen golok juga kesulitan bahan baku berupa tanduk. Seperti yang dialami oleh Enok Wida, pemilik merek golok PD Galonggong Suci. Ia mengaku, belakangan ini pasokan tanduk sapi dan kerbau kian menipis.

Kesulitan untuk mendapatkan tanduk itu bukan kali ini saja, tapi sudah bertahun-tahun. "Selain sulit mendapatkannya, harga juga semakin mahal," keluh Enok.

Setiap tahun, kenaikan harga tanduk sapi atau kerbau itu berkisar antara 5%-7%. Begitu juga dengan kenaikan harga besi dan kayu yang fluktuatif. "Berbagai kesulitan bahan baku ini menyebabkan kami sulit menentukan harga jual yang ideal kepada pelanggan kami," jelas Enok.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1317285876/78681/Sentra-kerajinan-golok-Tasikmalaya-sudah-ada-sejak-seabad-silam-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1317372431/78793/Sentra-kerajinan-golok-Tasikmalaya-Menangguk-rezeki-bila-pesanan-datang-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78943/Sentra-kerajinan-golok-Tasikmalaya-Kendala-menebas-ekspansi-bisnis-golok-3

Selasa, 27 September 2011

SENTRA EMPING MELINJO, KLATEN

Peluang Usaha

SENTRA USAHA

Senin, 26 September 2011 | 15:57  oleh Handoyo
SENTRA EMPING MELINJO, KLATEN
Sentra emping Klaten: Emping berkembang berkat usaha Sumini (1)
Desa Kuncen di Kabupaten Klaten adalah salah satu sentra produksi emping melinjo. Lebih dari 100 perajin memproduksi emping melinjo dengan peralatan yang masih sederhana. Marak sejak 1980-an, Sumini membawa keberhasilan usaha emping melinjo sehingga ditiru penduduk desa.

Klaten adalah salah satu kabupaten yang terletak di antara Yogyakarta dan Surakarta atau Solo. Selain terkenal sebagai salah satu lumbung padi di Provinsi Jawa Tengah, Klaten juga memiliki produk unggulan lain, yaitu emping melinjo.

Sentra produksi emping melinjo di Klaten terletak di Desa Kuncen, Kecamatan Ceper. Dari ibu kota kabupaten, Kuncen berada sekitar 10 kilometer ke arah Solo. Cukup mudah untuk menemukan lokasi sentra pembuatan emping melinjo ini, letaknya cukup strategis berada di pinggir sebelah kiri Jalan Raya Yogya-Solo.

Di Desa Kuncen, kurang lebih ada 100 perajin emping melinjo. Mereka memproduksi emping di rumahnya masing-masing dengan menggunakan peralatan tradisional dan sederhana.

Walau menjadi sentra industri emping melinjo, kondisi Desa Kuncen tak jauh beda dibandingkan dengan desa lain di Jawa Tengah. Hanya saja, di rumah-rumah penduduk biasanya memiliki bagian lain untuk memproduksi emping melinjo.

Tempat produksi tersebut dibuat semi permanen dari anyaman bambu serta berlantai tanah. "Membuat emping melinjo menjadi kegiatan sehari-hari," kata Tri Wijilestari, salah satu perajin emping, sambil terus sibuk menjemur emping basah di atas anjang atau anyaman bambu.

Hampir di seluruh pinggir jalan Desa Kuncen, berjejer anjang berukuran 1 meter (m) x 1 m. Anjang tersebut dipakai untuk menjemur melinjo yang sudah digepengkan. Kegiatan produksi emping melinjo di sentra ini memang masih dilakukan secara rumahan atau home industry. Para perajin masih mengandalkan anggota keluarga inti untuk membuat emping. Kalau pun mempekerjakan karyawan, biasanya mereka hanya merekrut tetangga sendiri.

Seperti keempat karyawan Tri yang semuanya masih tetangga dekat. Mereka memproduksi rata-rata 30 kg emping melinjo tiap hari. Dengan harga jual per kilogram mencapai Rp 28.000 sampai Rp 29.000, menurut Tri, perajin emping di Desa Kuncen rata-rata bisa mengantongi omzet lebih dari Rp 20 juta setiap bulan.

Omzet yang diraih para perajin cukup membantu ekonomi masyarakat yang kebanyakan bergantung pada pertanian. "Usaha ini bisa dikerjakan di sela-sela kesibukan bertani," ujar Tri. Bahkan untuk mendukung perkembangan usaha pembuatan emping melinjo, saat ini para perajin emping melinjo mendirikan kelompok usaha emping melinjo bernama Mekar Sari.

Tri menceritakan, usaha pembuatan emping melinjo Desa Kuncen mulai marak tahun 1980-an. Saat itu ada salah satu warga yang berhasil berbisnis emping melinjo, namanya Sumini. Sebelum mendirikan usaha sendiri, Sumini dulunya merupakan karyawan pabrik pembuatan emping di Solo. "Saya capek jadi pekerja, akhirnya saya putuskan berhenti dan membuat emping sendiri," ujar Sumini.

Sumini mengajak para tetangganya untuk membantu membuat emping. Melihat keberhasilan Sumini membuat dan memasarkan emping melinjo sendiri, banyak masyarakat desa mengikuti.

Karena itulah kebanyakan perajin emping melinjo Desa Kuncen dulunya adalah pekerja Ibu Sumini. "Saya dulunya juga hanya pekerja biasa," kata Inuk Saminem, salah satu perajin di Desa Kuncen. Ia memutuskan untuk memulai usaha sendiri setelah beberapa tahun berselang bekerja di Ibu Sumini.

Walaupun jumlah pengusaha emping melinjo di Desa Kuncen semakin bertambah, namun tiap perajin memiliki pangsa pasar sendiri-sendiri. Contohnya Tri, setiap satu minggu sekali ia mengirim emping melinjo mentah ke pasar-pasar di Klaten. Ada 10 pelanggan yang siap untuk menampung produksi emping Tri dengan permintaan bervariasi mulai 10 kg hingga 40 kg. "Kita tidak ada rebutan lahan," ungkapnya.

Bahkan menurut Tri, jika ada warga yang produksinya berlebih, antar perajin saling bantu penjualan. Sebab, dengan jumlah produksi yang terbatas, permintaan permintaan di pasaran banyak.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78337/Sentra-emping-Klaten-Emping-berkembang-berkat-usaha-Sumini-1

Jumat, 16 September 2011

SENTRA LUKISAN JELEKONG, BANDUNG

Peluang Usaha

SENTRA USAHA

 
Kamis, 15 September 2011 | 14:05  oleh Ragil Nugroho
SENTRA LUKISAN JELEKONG, BANDUNG
Sentra lukisan Jelekong: Sentra lukisan terbesar di Bandung (1)

Sebagai pusat penghasil lukisan ternama di Bandung, Desa Jelekong memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Lebih dari 10% dari jumlah penduduk Jelekong memiliki profesi sebagai pelukis. Beragam lukisan asal desa ini, bahkan sudah dipasarkan hingga ke luar negeri.

Sejak lama, Kota Bandung terkenal menyimpan potensi seni yang tinggi. Bukan hanya menjadi kiblat dunia fesyen, kota berjuluk Kota Kembang ini juga memiliki sentra lukisan yang terletak di Desa Jelekong, Bandung Selatan.

Sentra pembuatan lukisan yang muncul sejak 1960-an ini tepatnya berada di Jalan Raya Laswi, Baleendah, Kabupaten Bandung. Jika kita menyusuri jalanan itu, akan terlihat ratusan kanvas yang dijemur di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan.

Ada sekitar 20 galeri di sepanjang jalan desa itu. Maklum, banyak penduduk desa ini yang memang memiliki profesi sebagai pelukis. Dari total penduduk Jelekong yang sebanyak 5.000 orang, 600 di antaranya adalah pelukis.

Indira Sukmawati, pemilik galeri Karya Siliwangi mengungkapkan, dalam sehari, pekerja seni di galerinya bisa menghasilkan dua hingga lima lukisan dengan berbagai macam objek. "Lukisan kami kadang disebut kerajinan tangan, karena dikerjakan siang dan malam. Pelukis juga tak memiliki latar belakang pendidikan seni," ujar Indira yang mempekerjakan 10 pelukis di galerinya.

Karena berbekal ilmu melukis otodidak, gaya atau teknik menggambar para pelukis ini juga beragam. Mulai dari teknik pisau palet dan sapuan kuas biasa hingga cokcrok.

Teknik terakhir merupakan cara melukis dengan spon yang muncul akhir 1990-an. Tak hanya disukai perajin, lukisan dengan teknik ini juga mengundang minat pembeli. Bahkan, teknik ini bertahan sampai saat ini. Para pelukis memadukannya dengan teknik pisau palet untuk pemandangan alam.

Sentra ini memiliki perajin yang ahli melukis panorama pedesaan, pacuan kuda, buah-buahan, kereta kencana, ikan koi, dan adu ayam.

Karya lukisan penhuni Desa Jelekong pun sudah menyebar di mana-mana, seperti Jakarta, Semarang, Bogor, Bali, Malaysia, hingga Arab Saudi. Beberapa galeri dan gerai penjualan lukisan di Bandung pun menjajakan lukisan seniman Desa Jelekong. Tentu, harga jual mereka lebih tinggi.

Menurut Haryono, pemilik galeri Margahayu, meski diproduksi secara massal, lukisan pelukis Jelekong tetap menarik minat banyak wisatawan. "Harganya murah, berbeda dengan lukisan perupa terkenal yang mencapai jutaan," ujarnya. Demi menyambung hidup, cita rasa seni rupa ini memang dikolaborasikan dengan industri yang mengikuti selera pasar.

Harga jual lukisan Jelekong bertema pemandangan di atas kanvas berukuran 135 cm x 40 cm berkisar Rp 150.000 hingga mencapai harga Rp 10 juta rupiah. Harga jual itu ditentukan oleh ukuran, penggunaan cat, serta tingkat kesulitan. Namun, secara umum, harga lukisan di Jelekong berkisar Rp 100.000-Rp 15 juta. Di galerinya, Haryono bisa menjual antara 10 hingga 30 buah lukisan setiap bulan.

Bila tak sempat mampir ke Jl Raya Laswi, konsumen juga bisa menemukan lukisan asal Jelekong ini di pusat Kota Bandung, tepatnya di kawasan Braga. Di jalan sepanjang 700 meter itu, berjajar pedagang lukisan kaki lima hingga galeri lukisan ternama, seperti galeri seni jalanan.

Sentra lukisan Jelekong ini terus berkibar seiring perhatian serius dari Pemerintah Kota Bandung. Menurut Haryono, Januari lalu, Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf mendorong lokasi ini sebagai kampung pariwisata sekaligus mendukung pelaksanaan Festival Jelekong 2011. "Pemerintah berharap, festival yang direncanakan pada 2011 ini bisa menggali dan memamerkan potensi Jelekong," tegasnya.

Haryono dan para pelukis lainnya pun memendam harapan yang sama. Dengan adanya dukungan dari pemerintah provinsi dan kabupaten, mereka yakin, potensi Jelekong bisa lebih tergali dan dioptimalkan. "Kami optimistis, masa depan kampung ini akan lebih baik," tutur Haryono.

Sumber:

 http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77500/Sentra-lukisan-Jelekong-Sentra-lukisan-terbesar-di-Bandung-1

Kamis, 15 September 2011

SENTRA ONDERDIL MOBIL HARAPAN BARU, BEKASI

Peluang Usaha

SENTRA USAHA
Senin, 12 September 2011 | 16:56  oleh Fahriyadi
SENTRA ONDERDIL MOBIL HARAPAN BARU, BEKASI
Sentra onderdil Harapan Baru: sentra onderdil mobil di tengah perumahan (1)
Pengembangan kota ke pinggiran Jakarta turut menyuburkan lahan bisnis. Salah satunya sentra onderdil mobil di perumahan Harapan Indah, Bekasi Barat. Sejak 1998, banyak pedagang onderdil dari pasar Senen, Jakarta Pusat, eksodus ke sentra onderdil ini.

Pengembangan kawasan pemukiman ke daerah pinggiran Jakarta mampu menggerakkan pula sektor bisnis lainnya. Tengok saja, kompleks pertokoan di Perumahan Harapan Indah, Bekasi Barat, yang sekarang terkenal sebagai sentra onderdil mobil.

Lokasi sentra onderdil itu tepatnya berada di Jalan Taman Harapan Baru, Kelurahan Pejuang, Harapan Indah, Bekasi Barat. Dari enam blok rumah toko (ruko) yang ada di lokasi itu, setidaknya ada 40 pedagang yang menjual onderdil.

Pedagang onderdil itu menjual beraneka ragam onderdil, baik onderdil mobil merek Jepang, Eropa, maupun onderdil mobil merek Amerika Serikat (AS). Bahkan, sebagian pedagang juga menjual onderdil mobil antik alias mobil tua.

Kehadiran pedagang onderdil di lokasi pertokoan perumahan Harapan Indah itu sudah dimulai sejak 1998 silam. Pedagang onderdil mulai membuka toko setelah pengembang menyelesaikan pembangunan ruko. "Tahun 2000-an barulah ramai," kata Stephanus Kurniadi, pemilik toko Emporium Motor di sentra onderdil Harapan Indah itu.

Kebanyakan pedagang di sentra onderdil itu adalah pedagang onderdil di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. "Tahun 2000-an pedagang onderdil pasar Senen eksodus ke Harapan Indah," terang Stephanus yang juga berdagang onderdil di pasar Senen.

Karena banyak pedagang yang eksodus ke Harapan Indah, membuat Stephanus tertarik. Ia lantas ikut membuka cabang bisnis onderdilnya ke Harapan Indah tahun 2001. Selain menjual onderdil, Stephanus juga melayani jasa perbaikan dan perawatan mobil.

Waktu pertama kali buka toko, baru terdapat sepuluh toko onderdil. Namun, karena pasarnya bagus membuat puluhan pedagang lain ikut membuka toko onderdil serupa. "Di Bekasi banyak pemilik mobil yang tentu butuh onderdil," ungkap Stpehanus.

Bak gayung bersambut, kehadiran sentra onderdil itu membantu warga Bekasi yang ingin memperbaiki mobilnya. Salah satunya adalah Dion Aryanto, yang rutin memperbaiki mobil ke Harapan Indah sejak 2006. "Lokasinya tak jauh dari rumah saya," kata warga Bekasi itu.

Selain lokasi yang dekat, pelanggan sentra onderdil Harapan Indah merasa nyaman dengan harga dan kualitas onderdil yang ditawarkan pedagang. "Pedagang mau menjamin kualitas," terang Dion.

Seperti pusat perbelanjaan onderdil lain, kawasan onderdil Harapan Indah makin ramai dikunjungi pelanggan menjelang Lebaran dan juga tahun baru. Di saat itu, pemilik mobil mempersiapkan kendaraannya untuk keperluan mudik atau liburan.

Sayangnya, meski pusat onderdil ini mudah dijangkau warga Bekasi Barat, namun membuat bingung warga dari luar Bekasi untuk menuju tempat itu. Saat KONTAN berkunjung ke sentra itu, tidak ada tanda penunjuk jalan yang tentu mempersulit calon konsumen untuk datang.

Padahal, letak sentra onderdil Harapan Indah itu hanya 3 kilometer (km) dari pintu gerbang Harapan Indah. Tetapi lokasi sentra onderil itu menjadi tersembunyi karena diapit dua kluster perumahan. "Lokasinya menyulitkan pelanggan," kata Laili Hiutra, pemilik Toko Victory di sentra onderdil Harapan Indah.

Laili yang sehari-hari melayani perbaikan dan perawatan pendingin (AC) mobil itu mengeluh kesulitan mencari pelanggan baru, karena sentra onderil itu jarang dilalui kendaraan dari luar Bekasi Barat.

Tak hanya itu, untuk menuju lokasi mesti punya kesabaran tinggi, terutama pada hari kerja, karena jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan. "Hari kerja jalan bisa macet parah," kata kata Laili.

Namun, bagi konsumen yang sudah paham situasi itu, mensiasatinya dengan berbelanja saat liburan. "Promosi dari mulut ke mulut jadi senjata pedagang untuk menggaet konsumen," ujar Stephanus yang sudah punya tiga ruko di sentra itu.  

Selasa, 13 September 2011 | 14:30  oleh Fahriyadi
SENTRA ONDERDIL MOBIL HARAPAN BARU, BEKASI
Sentra onderdil Harapan Baru: Saat Lebaran omzet datang lebih besar (2)
Lebaran adalah momen penting yang banyak dinanti pebisnis, tak terkecuali bagi pedagang onderdil di sentra onderdil di Harapan Indah, Bekasi. Menjelang Lebaran, omzet pedagang onderdil yang juga melayani jasa perbaikan dan servis mobil itu naik hingga dua kali lipat.

Hari Raya Lebaran adalah saat-saat penting bagi pedagang onderdil di sentra onderdil Harapan Indah, Bekasi Barat. Maklum, menjelang Lebaran omzet pedagang di situ yang biasanya juga buka usaha bengkel itu bakal terdongkrak naik melebihi hari biasa.

Tengoklah penuturan Stephanus Kurniadi, pemilik Emporium Motor yang ditemui KONTAN di toko onderdil miliknya. Ia bilang, kenaikan omzet itu sudah terjadi sejak Ramadan tiba. "Peningkatan omzet bisa mencapai dua kali lipat," tutur Stephanus.

Stephanus mengaku, omzetnya selama Ramadan atau satu bulan sebelum Lebaran mencapai Rp 50 juta. "Pada bulan-bulan di luar Ramadan, omzet hanya Rp 20 juta-Rp 30 juta," terang Stephanus.

Melambungnya omzet itu berasal dari penjualan onderdil, kampas rem, hingga ganti ban. Selain itu, pedagang juga mendapat uang jasa dari ganti oli, tune-up, servis mesin serta perbaikan bagian kendaraan lainnya.

"Untuk jasa servis, saya mengenakan tarif Rp 50.000-Rp 100.000, tune-up mesin dan ganti oli dengan tarif Rp 200.000-Rp 300.000, tergantung jenis dan merek mobil," terang Stephanus, panjang lebar.

Pada hari kerja biasa, Stephanus dikunjungi 6-7 mobil per hari, di akhir pekan ia dikunjungi 12 mobil per hari. "Kalau jelang Lebaran ada 10 sampai 25 mobil per hari," kata Stephanus.

Meski begitu, lelaki yang juga punya usaha jual beli mobil itu enggan memanfaatkan momentum Lebaran untuk menaikkan tarif jasa dan harga onderdil. "Harga bisa saja naik tetapi itu tidak baik untuk bisnis," terang Stephanus.

Namun, Stephanus baru menaikkan harga bila harga itu memang naik dari pabrikan sejak sebelum Ramadan. Namun, Stephanus sudah punya kiat untuk menghindari kenaikan harga dengan cara menambah stok sebelum Ramadan tiba.

Sumber onderdil Stephanus tidak hanya dipasok oleh pabrikan lokal, sebagian ada yang diimpor. Untuk teknisi mesin, ia mencari tenaga yang sudah berpengalaman dengan mesin.

Laili Hiutra, pemilik Victory Jaya, bengkel sekaligus toko AC atau pendingin mobil, juga ketiban rezeki Lebaran. Laili bilang, penjualannya selama sebulan sebelum Lebaran bisa mencapai Rp 200 juta.

Omzet Laili itu naik tajam ketimbang hari biasa yang hanya sebesar Rp 142 juta per bulan. Sama seperti Stephanus, Laili juga enggan menaikkan tarif jasa perbaikan atau harga onderdil AC yang ia jual. "Tidak ada alasan saya untuk menaikkan harga, karena harga onderdil AC cenderung stabil," terang Laili.

Namun, untuk mendapatkan keuntungan lebih, Laili lebih memilih menambah jam kerja. Kalau biasanya hanya 10 jam per hari, menjadi 12 jam saat menjelang Lebaran.

Untuk melayani pelanggan, Laili mematok tarif jasa perbaikan AC sebesar Rp 300.000-Rp 700.000 per mobil. Jika ada pergantian onderdil atau komponen AC, ia membanderol jasanya Rp 1 juta-Rp 2. "Harga tergantung jenis mobil, merek mobil, dan tentu saja merek AC yang dipakai konsumen," terang Laili.
Rabu, 14 September 2011 | 15:53  oleh Fahriyadi
SENTRA ONDERDIL MOBIL HARAPAN BARU, BEKASI
Sentra onderdil Harapan Baru: Butuh pembenahan agar bisa kondang (3)
Menyandang predikat sebagai sentra onderdil di Bekasi Barat tak membuat para pedagang di sentra onderdil Harapan Indah, Bekasi, berpuas diri. Mereka ingin lokasi ini bisa kian tersohor dengan meningkatkan promosi serta pembenahan sarana parkir dan akses jalan.

Memang tepat pilihan pedagang onderdil berjualan di rumah toko (ruko) kawasan perumahan Harapan Indah, Bekasi. Betapa tidak, sekeliling ruko Harapan Indah itu adalah perumahan kalangan menengah atas yang tentu saja sebagian besar penghuninya punya mobil.

Dengan demikian, setidaknya, pedagang sentra onderdil itu mendapat pelanggan dari penghuni perumahan. Mengutip dari situs Wikipedia, jumlah penghuni kawasan Harapan Indah itu mencapai 60.000 kepala keluarga (kk).

Jika separuh dari penghuni perumahan itu memiliki mobil, setidaknya ada 30.000 mobil yang menjadi konsumen potensial bagi sentra perdagangan onderdil itu. Ini jelas target pasar yang menggiurkan. Apalagi kalau konsumen sentra onderdil itu diperbesar ke wilayah Bekasi lainnya, tentu pasar sentra onderdil itu semakin besar.

Karena itulah, sebagian pedagang yakin sentra onderdil Harapan Indah bisa tersohor seperti sentra onderdil yang ada di Senen, Jakarta Pusat atau sentra onderdil di Kelapa Gading, Jakarta Timur.

Harapan itu disampaikan oleh Stephanus Kurniadi, pemilik Emporium Motor di sentra onderdil Harapan Indah. Ia bilang, dari sisi kelengkapan dagangan onderdil, tidak kalah lengkap dengan jualan pedagang onderdil di Kemayoran. "Bedanya cuma lokasi kami masih baru," kata Stephanus.

Dari sisi kualitas jasa perbaikan, Stephanus yakin sentra onderdil Harapan Indah bisa menyamai sentra onderdil lain. Sebab, pedagang dan penyedia jasa perbaikan mobil di Harapan Indah merupakan pindahan dari Pasar Senen.

Sebaliknya, Tri, pemilik toko onderdil PD Tri Mas di Harapan Indah, justru pesimistis dengan masa depan sentra onderdil Harapan Indah ini. "Masalahnya, lokasi ada di perumahan dengan konsumen terbatas," kata Tri.

Selain itu, Tri menilai sentra onderdil Harapan Indah sulit berkembang karena minim perhatian dari pihak pengembang kawasan Harapan Indah. "Memang kami diberi ruang promosi di media komunitas, tetapi itu tidak optimal menggaet pengunjung. Pelanggan kami, ya, itu-itu saja," keluh Tri.

Keluhan Tri soal lokasi yang tidak strategis itu diakui oleh Stpehanus. Tetapi ia menilai masalah lokasi bisa diatasi dengan pembenahan, salah satunya dengan berpromosi. "Pengembang ruko bisa meningkatkan promosi," usul Stpehanus.

Salah satu usul Stephanus adalah memasang penunjuk arah menuju sentra onderdil di gerbang masuk kawasan perumahan. "Ini cara promosi sederhana tetapi efektif bagi pelanggan dan juga pedagang di sentra ini," terangnya

Tak hanya itu, Stephanus juga mengusulkan agar Pemerintah Kota Bekasi segera mengatasi kemacetan di jalan yang menuju sentra onderdil Harapan Indah.

Sementara itu, Laili Hiutra, pemilik Victory Jaya, pedagang onderdil sekaligus bengkel perbaikan AC mobil, berharap pengembang juga membenahi lahan parkir. "Lokasi parkir harus diperbaiki agar konsumen nyaman belanja," harap Laili.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1315821410/77205/Sentra-onderdil-Harapan-Baru-sentra-onderdil-mobil-di-tengah-perumahan-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1315899053/77300/Sentra-onderdil-Harapan-Baru-Saat-Lebaran-omzet-datang-lebih-besar-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77402/Sentra-onderdil-Harapan-Baru-Butuh-pembenahan-agar-bisa-kondang-3

Rabu, 07 September 2011

SENTRA KELINCI LEMBANG, BANDUNG

Peluang Usaha

SENTRA USAHA


AGRIBISNIS

Senin, 05 September 2011 | 13:24  oleh Handoyo
SENTRA KELINCI LEMBANG, BANDUNG
Sentra kelinci Lembang: Sisa kejayaan orde baru (1)
Bermula dari kelinci bantuan presiden pada 1980-an, kawasan Lembang, Bandung, Jawa Barat, kian identik dengan kelinci. Bahkan di Desa Sukalaya, Lembang, terdapat 15 peternak dengan ratusan induk kelinci. Setiap induk melahirkan empat kali dalam setahun.

Kawasan Lembang, Jawa Barat, tidak hanya menyimpan pemandangan alam yang mempesona. Lembang yang berhawa sejuk ini, selain menghasilkan sayur-mayur nan melimpah, juga menjadi sentra peternakan hewan lucu menggemaskan yang disebut kelinci.

Saking melimpahnya hasil ternak kelinci itu, kalau mampir ke Lembang, Anda tentu menemui berbagai kedai dengan masakan khas berbahan baku daging kelinci; antara lain satai kelinci dan sop kelinci.

Tentu tak cuma kelinci matang saja yang bisa Anda nikmati. Kalau Anda ingin beternak kelinci di rumah, Lembang adalah tempat membeli indukan kelinci yang bagus.

Lembang memang pantas dijuluki sebagai sentra peternakan kelinci di Jawa Barat. Kalau kita runut ke belakang, sentra peternakan kelinci mulai bermunculan ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.

Waktu itu, Presiden Soeharto tengah mencanangkan program bantuan presiden (banpres) di berbagai daerah di Indonesia. Nah, salah satu daerah yang mendapat banpres itu adalah Lembang. Karena Lembang berhawa sejuk dan banyak sayuran, pemerintah menganggap kelinci paling cocok dibiakkan di situ.

Ternyata, rezim Soeharto tak selalu salah. Hawa Lembang memang cocok buat kelinci sehingga kelinci banpres yang jumlahnya puluhan itu kini berkembang biak secara luas. Nah, salah satu desa yang serius mengembangkan kelinci adalah Desa Sukalaya. Di desa ini ada 15 kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya pada hasil ternak kelinci. Mereka rata-rata memelihara 30 ekor sampai 50 ekor indukan.

Untuk memenuhi permintaan pasar, peternak di Sukalaya tidak hanya mengembangbiakan kelinci pedaging, tetapi mereka juga mengembangkan kelinci piaraan, seperti kelinci ras rex, angora, lop, dutch, ataupun netherland dwarf.

Narso Suprapto, pria asal Solo yang beternak kelinci di Sukalaya, bilang, kelinci mudah diternakkan karena mudah pula perawatannya. "Selain itu, bentuk kelinci itu cantik dan bagus," kata Narso yang baru memulai beternak kelinci pada 1997 silam.

Saat Narso memulai usaha, harga kelinci waktu itu cukup menggiurkan. Apalagi waktu itu, pehobi kelinci lagi booming.

Ketertarikan menjadi peternak kelinci disampaikan juga oleh David Dodi Purnomo. Walaupun masih tergolong baru beternak kelinci, tapi Dodi sudah lama bergaul dengan pelaku bisnis kelinci di Sukalaya. "Saya baru serius beternak kelinci tahun 2006," kata David. Menurut dia, beternak kelinci sangat praktis. "Sewaktu-butuh uang, kelinci bisa dijual," terang David.

Saking likuidnya, kelinci umur sebulan pun sudah bisa diubah menjadi duit. Usia kelinci segitu memang lagi lucu-lucunya. Biasanya, harga kelinci umur sebulan dijual kepada pengepul Rp 10.000 per ekor. "Kalau pembeli kelinci perorangan, kami jual Rp 20.000," kata David.

Lebih menguntungkan lagi karena produktivitas kelinci sangat tinggi. Sepasang indukan rata-rata melahirkan empat kali setahun, sekali melahirkan bisa empat ekor. "Dulu saya pernah punya 150 induk kelinci," kenang Narso.

Narso sengaja mengurangi jumlah ternak kelincinya karena merasa sudah tua dan anak-anak selesai sekolah.
Selasa, 06 September 2011 | 14:32  oleh Handoyo
SENTRA KELINCI LEMBANG, BANDUNG
Sentra kelinci Lembang: Musim hujan sulit cari rumput kering (2)

Masyarakat Sukoloyo memilih beternak kelinci karena mudah dan sederhana pemeliharaannya. Satu-satunya kesulitan adalah saat musim hujan tiba. Mereka kesulitan mencari rumput kering. Maklum, rumput basah bisa membuat perut kelinci kembung dan diare.

Ketekunan dan kesabaran merupakan pedoman yang dijalankan oleh para peternak kelinci di wilayah Sukoloyo, atau yang lebih dikenal dengan Karmel, Lembang, Bandung. Setiap hari mereka harus mencari rumput guna memenuhi kebutuhan pakan kelinci.

Tak jarang, demi mendapatkan kualitas rumput yang baik, mereka harus berjalan sejauh 15 kilometer (km) ke wilayah Ciater, yang posisinya lebih tinggi lagi. Namun, bila memiliki sedikit uang lebih, mereka memilih untuk membeli pakan-pakan kelinci tersebut.

Dengan modal Rp 200.000, Narto Suparto--salah satu peternak kelinci di Sukoloyo--mulai merintis bisnis kelinci. "Uang itu untuk membeli delapan ekor indukan," ungkap Narto.

Letak geografis Lembang yang berada di lereng pegunungan setinggi 1.250 di atas permukaan air laut (dpl) memang cocok untuk membiakkan binatang imut ini. "Hawanya dingin, kelinci pun mudah berkembang biak," jelas Narto.

Ada beberapa nilai lebih mengapa budidaya kelinci makin digemari warga di sekitar Sukoloyo ini. Selain bersifat prolifik atau mudah untuk beranak pinak, kelinci memiliki tingkat reproduksi yang tergolong cepat, tidak membutuhkan lahan yang terlalu luas, pertumbuhan badan yang cepat serta cara pengembangbiakkan yang sederhana.

Memang, saat berusia lima bulan kelinci sudah bisa dikawinkan. Dalam setahun paling tidak kelinci bisa beranak sekitar empat sampai lima kali. Sekali beranak, satu indukan mengeluarkan enam ekor anak kelinci.

Hanya, kata David, peternak yang lain, kelinci termasuk hewan manja. Peternak kelinci harus tanggap dengan kondisi kelincinya. Karena itu, kelinci harus sering dikontrol, kebersihan yang selalu terjaga, serta pemberian makan teratur merupakan kunci sukses budidaya kelinci. "Paling tidak kandang kelinci rutin dibersihkan satu minggu sekali," kata David.

Selain perawatan harian yang mudah, pemeliharaan kelinci juga tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Peternak kelinci di Sukoloyo hanya melibatkan anggota keluarga saja.

Menurut warga setempat, masalah yang biasa dihadapi dalam budidaya kelinci adalah serangan penyakit bloat atau kembung dan diare. Penyakit ini menyerang bila rumput yang menjadi pakan kelinci masih basah. Kendati sepele, apabila tidak segera diatasi bisa berakibat kematian.

Karena itu, Narto maupun David bilang, cuaca merupakan permasalahan utama dalam pembudidayaan kelinci. Jika musim hujan tiba, para pembudidaya kelinci pun kesulitan mencari rumput kering.

Jika hal ini terjadi, terpaksa pembudidaya membeli rumput seharga Rp 10.000 per kilogram. Dengan sekitar 40 indukan, Tri Apriyanto, juga peternak kelinci di Sukoloyo, membutuhkan 2 kg rumput segar kering setiap harinya.

Sebagai alternatif, peternak kelinci juga memberikan makanan pengganti seperti singkong dan daun kol. Mereka mendapatkan pakan alternatif ini dari petani sayur setempat.
Rabu, 07 September 2011 | 15:03  oleh Handoyo
SENTRA KELINCI LEMBANG, BANDUNG
Sentra kelinci Lembang: Terbelenggu jejaring pengepul kelinci (3)
Selain kendala pakan, peternak kelinci di Desa Sukoloyo, Lembang, sulit memasarkan kelinci. Peternak menggantungkan penjualan dari pengepul yang membeli kelinci peternak dengan harga murah. Agar usaha tetap berjalan, peternak berusaha menjual kotoran kelinci.

Dari kacamata bisnis, budidaya kelinci memiliki peluang yang cukup menggiurkan. Betapa tidak, harga hewan lucu bertelinga panjang itu terbilang tinggi di pasar. Apalagi, ada kelinci jenis tertentu yang bernilai hingga ratusan ribu rupiah per ekor.

Namun, mahalnya harga kelinci itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan pembudidaya kelinci di Desa Sukoloyo, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Sebab, harga jual kelinci di tingkat peternak jauh lebih murah ketimbang harga jual kelinci di pasar hewan.

Saat menelusuri lebih lanjut, peternak kelinci mengaku senang menjual kelinci kepada pedagang pengumpul dengan harga lebih murah. Maklum, meski murah, mereka bisa langsung menerima pembayaran tunai.

Padahal, kalau ditelusuri lebih dalam, harga jual peternak ke pengepul hanya seperlima dari harga jual di pasar. Contoh, harga kelinci jenis Dutch umur 45 hari di pasaran mencapai Rp 75.000 per ekor. Sementara kelinci jenis yang sama, dibeli pengepul dari petani hanya Rp 13.000 per ekor.

Begitu juga dengan harga induk kelinci. Bandingkan saja, harga jual indukan itu di peternak yang hanya Rp 125.000 per ekor. Padahal, pengepul bisa melepas kelinci yang sama di pasaran seharga Rp 500.000 per ekor. Sedangkan, "Harga jual kelinci konsumsi cuma Rp 75.000 per ekor," ungkap David Dodi Purnomo, salah satu peternak kelinci di Sukoloyo.

Dengan selisih harga yang demikian tajam antara harga peternak dan pengepul, tentu berat bagi peternak untuk mengembangkan usaha. Menurut David, agar produksi kelinci bertambah, David butuh investasi minimal Rp 1 juta untuk membeli 10 ekor induk kelinci seharga Rp 100.000 per ekor. Ironisnya, indukan itu dibeli peternak dari pengepul kelinci.

Namun, David bilang, peternak mendapat kemudahan pembayaran kalau membeli indukan kepada pengepul. "Kami boleh utang," ujar David.

Tetapi pembayaran utang itu tidak berupa uang kontan senilai utang. "Utang bisa dibayar saat kelinci mulai beranak," tambah David.

Caranya begini, begitu indukan hasil utangan itu beranak maka seluruh anak kelinci itu diberikan kepada pengepul pemberi utang. Namun, satu ekor dari seluruh anak kelinci itu dianggap sebagai cicilan utang.

Tentu keadaan ini tak menyenangkan bagi peternak. Sebagian peternak kelinci Sukoloyo memang menyadari posisi mereka yang terjepit itu. Namun, mereka mengaku sulit mencari jalan keluar untuk melepaskan ketergantungan dari para pengepul itu.

Sebagian peternak kelinci mencoba menjual langsung kelinci mereka dengan membuka tempat penjualan di pinggir jalan, namun usaha mereka itu kandas karena sering dagangan lebih banyak tak laku. Akibatnya, modal mereka lebih banyak terpangkas untuk biaya operasional.

Tri Apriyanto, salah satu peternak yang pernah berjualan kelinci di pinggir jalan mengaku berhenti berjualan karena tidak memperoleh keuntungan yang memadai. "Kalau kami teruskan, berjualan kelinci bisa merugi," kata Tri.

Agar bisa bertahan menjadi peternak, Tri berusaha mencari pemasukan lain dengan cara menjual air kencing dan kotoran kelinci. Sisa pembuangan hewan penggemar wortel itu ternyata dibutuhkan oleh industri pupuk organik.

Satu liter air kencing kelinci dijual Rp 1.500, sedangkan kotoran kelinci dijual Rp Rp 20.000 untuk kemasan 25 kilogram (kg). "Setiap pekan kami menjual kotoran kelinci ini ," kata Tri.
Hasil penjualan kotoran kelinci itu tentu menjadi penghasilan tambahan yang lumayan. Lihat saja, dalam sebulan peternak bisa mendapat penjualan kotoran itu hingga mencapai Rp 400.000. "Penjualannya hampir sama dengan penjualan kelinci," terang Tri.

Para peternak berharap pemerintah membantu usaha peternakan mereka, seperti yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru. "Selain modal, kami juga butuh pemasaran," kata Tri.

Kamis, 08 September 2011 | 13:43  oleh Handoyo
SENTRA KELINCI LEMBANG, BANDUNG
Sentra kelinci Lembang: Berharap bantuan nan tak kunjung datang (4)

Pengetahuan yang minim perihal cara beternak kelinci membuat kelinci rentan diserang penyakit. Tak jarang, peternak di Desa Sukoloyo, Lembang, Bandung, rugi karena kelinci mereka mati mendadak. Peternak pun masih menunggu datangnya bantuan pemerintah.

Meskipun keuntungan beternak kelinci itu minim, peternak kelinci di Sukoloyo, Lembang, Bandung, Jawa Barat, tetap setia menangkar hewan bertelinga panjang itu.

Masalahnya, para peternak yang tinggal di kawasan yang sering disebut Karmel, karena dekat Gereja Karmel, tak semuanya menguasai cara-cara beternak kelinci yang baik. Apalagi sebagian dari mereka, menjadi peternak kelinci lantaran terpaksa karena tak ada pekerjaan lain.

Mereka juga tidak mengetahui cara membudidayakan kelinci yang efisien dan bisa menguntungkan. "Kami butuh penyuluh yang mau membimbing usaha ini," harap David Dodi Purnomo, peternak kelinci di Sukoloyo.

Namun harapan mendapatkan penyuluh peternakan kelinci itu tak pernah datang. Alhasil, peternak hanya mengandalkan budidaya kelinci dengan cara tradisional. Peternak bahkan tidak mengetahui cara menghitung gizi atau vitamin kelinci yang mereka tangkarkan itu.

Minimnya pengetahuan tentang gizi, vitamin serta kesehatan kelinci itu justru ternak kelinci itu tak produktif. Bahkan, sering ditemukan kasus kelinci yang sakit mendadak atau bahkan mati. "Tahun 2005, saya rugi besar," kenang Narso Suparto, peternak kelinci yang lain.

Narso menceritakan, sedikitnya ada 20 kelinci miliknya pernah ditemukan mati mendadak akibat penyakit. Namun, musibah itu tak membuat Narso patah arang. Ia tetap setia melanjutkan profesinya sebagai peternak kelinci.

Saat ini, yang membuat senang peternak, bila datang pembeli langsung ke kandang atau ke peternak. Sesekali harapan itu memang kesampaian, terutama pembeli dari jemaat Gereja Karmel yang ada di desa Sukoloyo. "Jemaat Gereja Karmel juga ada yang membeli kelinci ke kandang," kata Tri Apriyanto, yang juga peternak kelinci.

Karena membeli eceran, para peternak bisa menjual kelinci itu lebih mahal ketimbang menjual kepada pengepul. Hal serupa juga dilakukan Narso, bahkan ia pernah menjual kelinci jenis anggora senilai Rp 1 juta per ekor. "Pernah juga saya menjual kelinci jenis gibas seharga Rp 800.000 per ekor," kata Narso.

Namun, jemaat gereja itu tidak rutin belanja kelinci kepada para peternak. Beda dengan pedagang pengepul yang rutin belanja kelinci setiap pekan.

Mata rantai perdagangan kelinci itulah yang sejatinya ingin diputus para peternak. Para peternak kelinci di Sukoloyo yakin, bila mereka mampu berjualan langsung ke konsumen, pasti mereka akan mendapatkan harga yang lebih baik. Bukti itu sudah mereka rasakan ketika ada jemaat Gereja Karmel yang membeli kelinci.

Masalahnya, tak ada yang peduli dengan para peternak kelinci tersebut. Hingga kini, harapan untuk menjual kelinci secara mandiri masih berupa angan-angan. "Kalau langsung ke pembeli, keuntungan kami bisa berlebih," terang David.

David bilang, pemerintah pernah berjanji memberikan bantuan modal. Namun, syaratnya, para peternak harus membentuk koperasi atau kelompok usaha. Sayang, setelah dua tahun koperasi dan kelompok usaha berdiri, bantuan yang dijanjikan tak kunjung mengucur. "Janji itu tinggallah janji," keluh David. Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1315203893/76610/Sentra-kelinci-Lembang-Sisa-kejayaan-orde-baru-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1315294334/76720/Sentra-kelinci-Lembang-Musim-hujan-sulit-cari-rumput-kering-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/76832/Sentra-kelinci-Lembang-Terbelenggu-jejaring-pengepul-kelinci-3
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/76930/Sentra-kelinci-Lembang-Berharap-bantuan-nan-tak-kunjung-datang-4

Rabu, 10 Agustus 2011

SENTRA JAMUR MERANG CILAMAYA, KARAWANG


PELUANG USAHA


SENTRA USAHA

Kamis, 04 Agustus 2011 | 13:41  oleh Bambang Rakhmanto
SENTRA JAMUR MERANG CILAMAYA, KARAWANG
Sentra jamur Cilamaya: Jamur merang menjamur di Karawang (1)
 
Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, adalah salah satu sentra penghasil jamur merang di Indonesia. Berkat kehadiran 16 kelompok petani, Cilamaya adalah salah satu pemasok kebutuhan jamur merang dalam negeri yang mencapai sekitar 30 ton per hari.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, sebagian masyarakat Desa Krasak, Cilamaya, Karawang, mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa orang bersepeda motor tampak membawa keranjang berisikan jamur merang.

Mereka berbondong menuju rumah Sardi, Ketua Gabungan Kelompok Tani Bintang Jamur Mandiri. Di rumah Sardi itulah jamur-jamur tadi ditimbang dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual ke Jakarta, Bandung, dan Bogor.

Begitulah salah satu rutinitas petani jamur merang di Desa Krasak, Kecamatan Cilamaya, di pagi hari. Cilamaya sendiri adalah salah satu sentra penghasil jamur merang di Indonesia. Saat ini, di Cimalaya ada 16 kelompok petani jamur. Tiap kelompok memiliki tiga sampai lima anggota, sehingga total jumlah petani jamur sebanyak 47 orang dengan jumlah kubung atau rumah pembiakan bibit jamur sebanyak 1.000 unit. "Satu petani bisa memiliki tiga sampai lima unit kubung," kata Sardi.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan, total kubung yang ada di Kabupaten Karawang mencapai 2.450 unit. Namun, dari jumlah itu, yang telah teregistrasi hanya sekitar 1.000 unit. Tiap unit mempunyai luas 4 meter x 7 meter.

Dari jumlah kubung itu, total produksi jamur merang di Karawang mencapai 3.537 ton per tahun. Untuk memproduksi jamur merang sebanyak itu membutuhkan jerami atau merang sebanyak 943.110 ton per tahun.

Dengan produksi sebanyak itu, Kabupaten Karawang memang menjadi salah satu pemasok utama jamur merang di Tanah Air. Kementerian Pertanian memperkirakan, total kebutuhan jamur merang mencapai 30 ton per hari atau 0,05 kg per kapita per tahun.

Menurut Sardi, budi daya jamur merang jelas mampu menyejahterakan petani jamur di Cimalaya. Selain itu, banyaknya kubung tentu juga membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain itu, para buruh tani juga punya penghasilan tambahan sebagai buruh angkut jerami.

Sardi sendiri telah 18 tahun membudidayakan jamur merang. Dia memiliki dua kubung dan tiap kubung mampu memproduksi sekitar tiga kuintal jamur merang per bulan.

Harga jual jamur merang sebenarnya lumayan juga. Lihat saja, Sardi bisa menjual jamur di pengepul dengan harga antara Rp 15.000 hingga Rp 18.000 per kg untuk kualitas terbaik.

Dengan harga segitu dan dengan hasil sebanyak 600 kg, setidaknya saban panen Sardi bisa mendapatkan uang minimal sebanyak Rp 9 juta, kalau dia hanya menjual jamur kualitas terendah seharga Rp 15.000 per kg.

Hasil sebanyak itu kalau dikurangi biaya produksi yang meliputi pembelian jerami sebesar Rp 700.000 saban 40 hari sekali, pembelian bibit sebesar Rp 1,5 juta, dan biaya perawatan kubung sebesar Rp 200.000, Sardi masih mendapatkan untung bersih Rp 6,6 juta per bulan.

Nah, tentu hasil itu bisa lebih besar kalau punya kubung lebih banyak. Seperti rekan Sardi yang bernama Ichsan. Petani ini mempunyai tiga kubung yang mampu menghasilkan sembilan kuintal jamur merang per bulan.

Hasil sebanyak itu, tentu membuat Ichsan bisa tersenyum karena setidaknya dia bisa mengantongi hasil penjualan sebesar Rp 16,2 juta per bulan. 
Jumat, 05 Agustus 2011 | 15:13  oleh Bambang Rakhmanto
SENTRA JAMUR MERANG CILAMAYA, KARAWANG
Sentra jamur Cilamaya: Produksi turun karena andalkan metode lama (2)
 
Produksi jamur merang petani di Desa Krasak, Cilamaya, Karawang, terus merosot. Selama bertahun-tahun mereka belajar sendiri dengan mengandalkan metode turun temurun. Penurunan disebabkan minimnya sentuhan pemerintah dan tidak adanya metode tanam baru.

Prospek budi daya jamur merang yang bagus ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan produksi. Bahkan, produksi para petani jamur merang di Desa Krasak, Cilamaya, Karawang mengaku terus mengalami penurunan.

Dengan mengandalkan pengetahuan bertanam jamur secara otodidak, para petani terus bertahan dengan metode tanam tradisional turun temurun. “Walaupun ada bantuan penyuluhan dari pemerintah tetapi sangat jarang,” ucap Sardi, Ketua Gabungan Petani Jamur Mandiri di Cilamaya.

Sardi mengaku, selama 18 tahun membudidayakan jamur merang, metode yang digunakannya tidak pernah berubah. Karena itu, dia berharap ada metode baru dalam membudidayakan jamur merang. Apalagi, "Produksi kami selama lima tahun terakhir mengalami penurunan,” katanya.

Menurut Sardi, petani jamur merang Cilamaya, diuntungkan dengan kemudahan mendapatkan merang atau jerami. Namun selebihnya harus berusaha sendiri untuk bisa bertahan.

Penurunan produksi juga dirasakan oleh Ichsan, salah seorang petani jamur merang di Desa Krasak. Menurutnya, jika dulu per kubung mampu memproduksi empat kuintal sekali panen, saat ini hanya mampu menghasilkan tiga kuintal saja.

Sedangkan Asnawi, petani jamur merang lainnya hanya mampu memproduksi 2,5 kuintal tiap panen per kubung. “Saya belum pernah panen lebih dari itu, tetapi kalau kurang sering,” ujarnya.

Karena itulah Sardi, Ichsan, dan Asnawi berharap pemerintah memperhatikan nasib mereka. Perhatian itu terutama dengan memberikan penyuluhan cara bertanam jamur merang yang benar, atau memberikan pengetahuan metode tanam baru yang bisa meningkatkan produksi.

“Biasanya orang yang diutus pemerintah bukan orang yang tepat, tidak mengetahui soal budi daya jamur merang,” ucap Asnawi. Karena tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan, para petani jamur merang di sentra yang terletak di jalan alternatif menuju Cirebon ini lebih sering belajar sendiri.

Mereka harus belajar dari pengalaman untuk bisa bertahan. "Jika tidak belajar usaha kita akan cepat gulung tikar. Sudah banyak petani yang tutup karena produksinya menurun,” ujar Asnawi.

Metode budi daya jamur merang yang dipakai oleh petani masih sederhana. Tahap pertama adalah pengomposan. Tahap ini dilakukan dengan merendam jerami selama empat jam dan penaburan kapur sebanyak 5 kilogram (kg) dan dedak seberat 50 kg.

Penaburan itu dilakukan untuk mempercepat pembusukan. Setelah itu, jerami ditutup dengan terpal atau plastik tidak tembus cahaya selama tujuh sampai sembilan hari. Jerami yang telah busuk kemudian dipindah ke atas rak-rak dalam kubung.

Kubung dan jerami yang tertata rapi kemudian dipanaskan atau pasteurisasi dengan uap air panas selama 12 jam. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan tiga drum berisi air. Drum dipasang pipa untuk mengalirkan panas. Proses pemanasan ruangan dan media tanam jamur merang berhenti sampai suhu dalam kubung sekitar 70 derajat Celcius. "Agar ruangan kubung dan media tanam bebas dari spora cendawan liar dan mikroorganisme pengganggu," kata Sardi.

Setelah dipanaskan benih jamur kemudian di tebar diatas jerami. Dalam proses ini, petani wajib dalam keadaan bersih sebelum menebar benih. Ini dimaksudkan agar bibit tidak terkontaminasi.

Setelah benih ditebar, kubung ditutup rapat agar tidak terkena matahari dan tidak dan tidak ada bakteri yang masuk. Lalu dilakukan penyiraman selama tiga sampai lima hari berturut-turut. Pengecekan rutin setiap hari juga perlu dilakukan untuk mengawasi agar tidak ada hama pengganggu, seperti tikus. Panen dilakukan setelah 40 hari. 

Senin, 08 Agustus 2011 | 14:57  oleh Bambang Rakhmanto
SENTRA JAMUR MERANG CILAMAYA, KARAWANG
Sentra jamur Cilamaya: Petani jamur ingin pasar mengembang (3)

Jumlah petani jamur merang di Kecamatan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat terus menjamur. Hasil panen bisa mencapai 3 ton/hari, sementara daya tampung industri pengolahan hanya 1 ton/hari. Pasokan yang melimpah membuat harga jamur turun jadi Rp 14.000 per kg.

Melihat begitu banyaknya kisah sukses petani jamur, banyak petani yang akhirnya tertarik ikut membudidayakan jamur. Jumlah petani jamur pun membengkak tajam. Kalau satu dasawarsa silam jumlah petani jamur terhitung baru puluhan, kini jumlahnya sudah mencapai ribuan orang.

Namun, bertambahnya jumlah petani dan membeludaknya panen jamur itu tidak diimbangi dengan daya serap pasar atas hasil panen jamur. Alhasil, kondisi itu membuat harga jamur Cilamaya turun.

Masalah makin rumit, karena petani tak punya pengalaman dalam memasarkan jamur atau menembus industri. Maklum, selama ini mereka langsung mengandalkan pengepul untuk menampung hasil panen jamur. "Banyak petani tidak mampu menjual jamur itu," keluh Sardi, Ketua Gabungan Kelompok Tani Jamur Bintang Mandiri.

Tak jarang, petani jamur itu membuang jamur hasil panen karena membusuk. "Usia jamur yang dipanen hanya bertahan satu hari," kata Sardi yang memiliki 47 anggota kelompok tani itu.

Menurut Sardi, budi daya jamur itu harus cepat dan tepat. Sebab, jamur yang sudah panen mesti sesegera mungkin dijual ke industri pengolahan atau dikirim ke pedagang jamur yang ada di pasar.

Saat harga jamur turun, petani hanya bisa membawa pulang Rp 14.000 per kilogram (kg) jamur. Harga ideal untuk jamur itu adalah Rp 25.000 per kg. "Namun harga ideal itu sulit tercapai," kata Sardi.

Memang di Cilamaya ada industri pengolahan jamur yang bisa membeli dan menyimpan jamur. Namun, kapasitas daya tampung pengolahan jamur itu hanya satu ton per hari. Padahal, produksi jamur bisa mencapai tiga ton per hari. Nah, jamur yang tidak tertampung industri itu biasanya dijual ke tengkulak untuk dijual di luar Karawang.

Masalahnya, tengkulak terkadang membeli jamur dengan harga rendah. Karena tidak punya pilihan, petani terpaksa menjual murah jamur itu agar jamu tidak membusuk.

Saat ini, petani jamur berharap ada industri pengolahan mie instan juga pabrik cemilan dari jamur berdiri di Karawang. "Pabrik ini belum terealisasi juga," kata Sardi.

Jika pabrik pengolahan berdiri di Karawang, jamur petani bisa langsung terserap. Selain itu, harga jamur juga bisa lebih stabil. "Tidak perlu lagi biaya transportasi mengirim ke daerah lain," kata Sardi.

Selain berharap ada industri pengolahan jamur, petani juga berharap mempunyai alat pengering jamur. “Alat itu bisa mengurangi kadar air pada jamur," terang Ikhsan, petani jamur.

Masalahnya, harga pengering itu mencapai Rp 30 juta per unit. Harga yang kelewat mahal buat petani. Padahal, "Jika punya alat pengering, jamur bisa disimpan lebih lama," kata Ikhsan.

Berbeda dengan Ikhsan, Disam petani jamur lainnya mengaku optimistis dengan pasar jamur. Ia mengaku, permintaan jamur akan naik karena jamur merang adalah tanaman yang tidak menggunakan bahan kimiawi berbahaya. "Jamur juga mengandung vitamin C tinggi," kata Disam, yakin.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1312440111/74624/Sentra-jamur-Cilamaya-Jamur-merang-menjamur-di-Karawang-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1312532038/74729/Sentra-jamur-Cilamaya-Produksi-turun-karena-andalkan-metode-lama-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/74888/Sentra-jamur-Cilamaya-Petani-jamur-ingin-pasar-mengembang-3