Rabu, 28 September 2011

Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana Good Governance

Oleh Prof Dr. Mardiasmo*)

PENDAHULUAN
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan limpahan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional masih diatur Pemerintah Pusat.
Pendelegasian kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka Desentralisasi Fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus (Undang-Undang No. 33 tahun 2004).
Implikasi langsung pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah kebutuhan untuk mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur antara lain pengelolaan keuangan daerah dan pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan keuangan yang komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan tersebut, pengembangan dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat mendesak dilakukan sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan akuntabilitas publik untuk mencapai good governance (accounting for governance).
Penyusunan APBD berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat.

PEMERINTAH YANG RESPONSIF, TRANSPARAN, DAN AKUNTABEL SEBAGAI BAGIAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Bank Dunia memberikan definisi governance sebagai cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan United Nation Development Program (UNDP) lebih memfokuskan pada cara pengelolaan negara dengan mempertimbangkan aspek politik yang mengacu pada proses pembuatan kebijakan;aspek ekonomi yang mengacu pada proses pembuatan keputusan yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, serta peningkatan kualitas hidup; dan yang terakhir aspek administratif yang mengacu pada sistem implementasi kebijakan.
Dengan demikian, orientasi pembangunan sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan good governance. Lebih jauh, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, antara lain transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, efficiency dan effectiveness, serta accountability. Dari karakterikstik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu terwujudnya transparansi, value for money, dan akuntabilitas.
Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, pemerintah daerah dituntut lebih responsif atau cepat dan tanggap. Terdapat 3 (tiga) mekanisme yang dapat dilaksanakan daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel serta selanjutnya dapat mewujudkan good governance yaitu: (1) mendengarkan suara atau aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama pemberdayaan masyarakat, (2) memperbaiki internal rules dan mekanisme pengendalian, dan (3) membangun iklim kompetisi dalam memberikan layanan terhadap masyarakat serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme tersebut saling berkaitan dan saling menunjang untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah.
Manajemen risiko (risk management) merupakan salah satu aspek pengelolaan keuangan penting lainnya dalam pewujudan good governance. Manajemen risiko dilakukan untuk meminimumkan kerugian yang mungkin terjadi akibat dari adanya ketidakpastian (uncertainty) masa depan.
Risiko yang terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak saja dialami oleh sektor swasta, namun juga oleh organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan, menghadapi hal yang sama. Risiko akibat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh organisasi sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi perubahan politik yang tidak menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas politik nasional dan lokal, (2) kemungkinan terjadi perubahan politik dan ekonomi regional dan internasional, seperti krisis ekonomi dan mata uang, depresi ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3) kemungkinan terjadi kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu perekonomian negara, seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan, pajak, bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5) kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.

AKUNTABILITAS PUBLIK DAN TRANSPARANSI
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak accountable, masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.
Manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana yang digunakan dalam penyediaan layanan berasal dari masyarakat baik secara langsung (diperoleh dengan mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri), maupun tidak langsung (melalui mekanisme perimbangan keuangan). Pola pertanggungjawaban pemerintah daerah sekarang ini lebih bersifat horisontal di mana pemerintah daerah bertanggung jawab baik terhadap DPRD maupun pada masyarakat luas (dual horizontal accountability). Namun demikian, pada kenyataannya sebagian besar pemerintah daerah lebih menitikberatkan pertanggungjawabannya kepada DPRD daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).
Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang didasari oleh adanya hak masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan atas pengumpulan sumber daya dan penggunaannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.
Pembuatan laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa keterbukaan (opennes) pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber daya publik. Transparansi informasi terutama informasi keuangan dan fiskal harus dilakukan dalam bentuk yang relevan dan mudah dipahami (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Transparansi dapat dilakukan apabila ada kejelasan tugas dan kewenangan, ketersediaan informasi kepada publik, proses penganggaran yang terbuka, dan jaminan integritas dari pihak independen mengenai prakiraan fiskal, informasi, dan penjabarannya (IMF, 1998 dalam Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pada saat ini, Pemerintah sudah mempunyai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan (PP No. 24 Tahun 2005).

VALUE FOR MONEY
Value for money (VFM)merupakan konsep pengelolaan yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi adalah pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan dengan menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output.

Ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok value for money yang saling terkait. Ketiga elemen tersebut perlu ditambah dengan dua elemen lagi yaitu keadilan (equity) dan pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial yang sama untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan kesejahteraan ekonomi. Selain keadilan, perlu dilakukan distribusi secara merata. Artinya, penggunaan uang publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan secara merata dengan keberpihakan kepada seluruh rakyat (Mardiasmo, 2002a).

KUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, tetapi juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.
Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan (Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD), yayasan, universitas, organisasi politik dan organisasi massa, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti politik, sosial, budaya, dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara pandang, dan definisi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai entitas yang aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling tidak atas lima komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja, sistem pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability), dan auditing sektor publik yang dapat diintegrasikan ke dalam tiga bagian akuntansi sektor publik, yaitu: Akuntansi Manajemen Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Sektor Publik, dan Auditing Sektor Publik.

AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi perencanaan meliputi perencanaan strategik, pemberian informasi biaya, penilaian investasi, dan penganggaran, sedangkan fungsi pengendalian meliputi pengukuran kinerja. Informasi yang diberikan meliputi biaya investasi yang dibutuhkan serta identifikasinya, penilaian investasi dengan memperhitungkan biaya dengan manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan penilaian efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran yang dibutuhkan.
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari sektor swasta memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan meninggalkan administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM), yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik.
Penerapan NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi (Pecar, 2002). Perubahan dimulai dari proses rethinking government dan dilanjutkan dengan reinventing government (termasuk didalamnya reinventing local government) yang mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat (Mardiasmo, 2002b; Ho, 2002; Osborne and Gaebler, 1993; dan Hughes, 1998). Perubahan teoritis, misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan (Hoque, 2002; Heinrich, 2002). Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery (2001) menyatakan bahwa NPM merupakan fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas, dan memperbaiki akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya pun hampir sama, antara lain desentralisasi (devolved management), pergeseran dari pengendalian input menjadi pengukuran output dan outcome, spesifikasi kinerja yang lebih ketat, public service ethic, pemberian reward and punishment, dan meluasnya penggunaan mekanisme contracting-out (Hood, 1991; Boston et al.,1996 dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997).
NPM memberikan kontribusi positif dalam perbaikan kinerja melalui mekanisme pengukuran yang diorientasikan pada pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektivitas meskipun penerapannya tidak bebas dari kendala dan masalah. Masalah tersebut terutama berakar dari mental birokrat tradisional, pengetahuan dan ketrampilan yang tidak memadai, dan peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan cukup peluang fleksibilitas pembuatan keputusan (Pecar, 2002).
Penerapan NPM seharusnya didukung dengan penerapan Public Expenditure Management (PEM) dalam pengalokasian dan penggunaan sumber daya secara responsif, efektif, dan efisien (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). PEM tidak hanya dikaitkan dengan pengeluaran, tetapi juga memperhatikan pendapatan sebagai suatu kesatuan, sehingga kooperasi aparat pajak dengan aparat penganggaran untuk berbagai hal seperti budget forecasting, macroeconomic framework formulation, trade-offs between outright expenditures, dan tax concessions adalah suatu keharusan.
Dalam kerangka desentralisasi, PEM dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, dan kemampuan daerah serta memperhatikan local factor endowments, institusi daerah, dan kebutuhan daerah dalam perspektif jangka panjang. Penerapan PEM dilaksanakan untuk mewujudkan agregate fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999; Campos, 2001). Hal tersebut dapat dilaksanakan apabila StrategicManagementAccounting (SMA) diterapkan dalam pemerintahan. SMA membantu penyediaan informasi, pengendalian, dan evaluasi kinerja meskipun lingkungan dan kebutuhan organisasi terus berubah karena SMA menekankan continual feedback dan orientasi jangka panjang dalam membuat keputusan strategis dan menilai efektivitasnya (Hoque, 2002).
Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas dengan penerapan best value performance framework yang menunjang reformasi layanan publik. Reformasi layanan publik meliputi empat hal mendasar yaitu adanya standar nasional, keleluasaan dalam menyediakan layanan, fleksibilitas organisasi, dan eksplorasi jenis layanan yang dapat disediakan (ODPM, 2003). Layanan masyarakat seharusnya mempunyai kriteria seperti adanya standar yang tinggi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya serta dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif merupakan sesuatu yang relatif yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar pelayanan minimal (SPM) atau minimum standard level of public services. Indonesia saat ini sudah mempunyai PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best value juga menyelaraskan prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan fokus daerah sehingga pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.
Best value menitikberatkan pada pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik.Best value meningkatkan akuntabilitas dengan cara konsultasi dan musyawarah untuk memastikan adanya komunikasi yang efektif dalam komunitas daerah. Selain itu, best value juga mensyaratkan adanya evaluasi pada setiap aspek pekerjaan dari berbagai perspektif untuk menilai kinerja unit kerja tersebut. Best value dapat mengadopsi teknik-teknik manajemen sektor privat seperti value planning, value engineering, dan value analysis, serta konsep customer value. Dengan demikian, best value dapat dikatakan sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.
Penerapan konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value akan lebih nyata apabila sistem manajemen strategik yang berbasis Balanced Scorecard (BSC). Sistem manajemen strategik tersebut terdiri dari sistem perumusan strategi, sistem perencanaan strategi, sistem penyusunan program, sistem penyusunan anggaran, sistem pengimplementasian, dan sistem pemantauan.

SISTEM PENGUKURAN KINERJA
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective, dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau adanya pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah ditetapkan apabila terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik memperhatikan value for money yang mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat apabila dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat (Mardiasmo, 2002a).




Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik perlu gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good governance. Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan uang publik (public costs awareness).
Public Sector Scorecard
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders, lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh keadaan politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat perspektif BSCyaitu perspektif financial, customer, internal business dan learning and growth (Kaplan and Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000) secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak hanya diukur dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.
AKUNTANSI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
Akuntansi keuangan sektor publik terkait dengan tujuan dihasilkannya laporan keuangan eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan adalah memberikan informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti pertanggungjawaban dan pengelolaan, dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasional (IFAC, 2000; GASB, 1999).
Beberapa teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh sektor publik adalah akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana, akuntansi kas, dan akuntansi accrual. Pada dasarnya kelima teknik tersebut tidak bersifat mutually exclusive. Artinya, penggunaan salah satu teknik akuntansi tersebut tidak menolak penggunaan teknik yang lain. Dengan demikian, suatu organisasi dapat menggunakan teknik akuntansi yang berbeda-beda, maupun menggunakan kelima teknik tersebut secara bersama-sama (Jones and Pendlebury, 2000).
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry bookkeeping dan perubahan teknik atau sistem akuntansi berbasis kas menjadi berbasis accrual. Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang auditable.
Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.
Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management) dan manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi manajemen lainnya (Mellor, 1996).
Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern, consistency of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC, 2000). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996).
Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan dari cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan contoh sukses dalam menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi masyarakat (Yamamoto, 1997).
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.
AUDITING SEKTOR PUBLIK
Pemberian otonomi daerah berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat, serta pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat); pengendalian, yang berupa pengendalian internal dan pengendalian manajemen, berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) dan dilakukan untuk memastikan strategi dijalankan dengan baik sehingga tujuan tercapai; sedangkan pemeriksaan (audit) dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2001).
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial kemasyarakatan di daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah digariskan, bukan pemeriksaan (audit). Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, seperti BPK, BPKP, atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang selama ini menjalankan fungsinya lebih pada sektor swasta sehingga fungsinya pada sektor publik perlu ditingkatkan.
Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent sedangkan kelemahan kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua adalah masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping satu dengan lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.
Sehubungan dengan audit pemerintah, terdapat penelitian mandiri mengenai pengaruh rewards instrumentalities dan environmental risk factors terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. Penghargaan (rewards) yang diterima auditor independen pada saat melakukan audit pemerintah dikelompokkan ke dalam dua bagian penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan kesempatan membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan status). Sedangkan faktor risiko lingkungan (environmental risk factors) terdiri dari iklim politik dan perubahan kewenangan. Rincian lebih lanjut tentang faktor penghargaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Penghargaan Intrinsik
Penghargaan Ekstrinsik
Kenikmatan Pribadi
1.     Pekerjaan yang menarik
2.     Stimulasi intelektual
3.     Pekerjaan yang menantang (mental)
4.     Kesempatan pembangunan dan pengembangan pribadi
5.     Kepuasan pribadi
Kesempatan membantu orang lain
1.     Pelayanan masyarakat
2.     Kesempatan membantu personal klien
3.     Kesempatan bertindak sebagai mentor bagi staf audit
Karir
1.     Keamanan/kemapanan kerja yang tinggi
2.     Kesempatan karir jangka panjang yang luas
3.     Peningkatan Kompensasi

Status
1.     Pengakuan positif dari masyarakat
2.     Penghormatan dari masyarakat
3.     Prestis atau nama baik
4.     Meningkatkan status sosial
 Sumber: Lowehnson and Collins (2001).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rewards instrumentalities dengan segenap komponennya (penghargaan intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh positif terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. KAP melaksanakan audit pemerintah dilandasi keyakinan bahwa dirinya akan memperoleh kenikmatan pribadi. Kenikmatan pribadi yang dimaksud antara lain berupa kenikmatan meningkatkan kemampuan intelektualitas, kenikmatan meningkatkan atau paling tidak membuka kesempatan pengembangan pribadi serta mempertimbangkan bahwa audit pemerintah merupakan suatu pekerjaan yang menarik dan memberikan tantangan mentalitas profesional. Partner juga berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan audit dapat meningkatkan karir dalam arti peningkatan kemapanan, kesempatan berkarir secara lebih luas dan terbuka di masa mendatang, serta peningkatan kompensasi atau
penghasilan yang diperoleh. Lebih lanjut, partner berkeyakinan akan memperoleh pengakuan positif, penghormatan, dan nama baik atau prestis dari masyarakat, serta peningkatan status sosial dalam masyarakat (Mardiasmo, 2002c).
Sedangkan, faktor risiko lingkungan tidak berpengaruh negatif terhadap motivasi partner untuk melaksanakan audit pemerintah, meskipun hubungan keduanya negatif. Hasil penelitian memiliki implikasi bahwa banyaknya perubahan peraturan atau regulasi yang memunculkan kewenangan baru pemerintah serta iklim politik yang melingkupi kondisi pemerintahan disikapi secara hati-hati (ragu-ragu) oleh partner ketika akan menerima audit pemerintah (Mardiasmo, 2002c).
Wallace (1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki suatu dimensi politik dalam pengambilan keputusan yang merupakan bagian integral dari setiap analisis. Persaingan politik terkait dengan persaingan pemilu maupun persaingan antar kelompok yang berkepentingan (Carpenter, 1991) meningkatkan permintaan bagi politisi dan atau kelompok yang berkepentingan atas informasi akuntansi yang sudah diaudit (Baber, 1994) seiring dengan adanya pertentangan politik atau kegiatan masyarakat (Rubin, 1987 dan Baber, 1994) untuk menunjukkan ketepatan janji-janji politik mereka sebelumnya (Baber and Sen, 1984) atau mengungkapkan tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).
Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang menghadapi persaingan mungkin mendesak auditor independen untuk mengeluarkan laporan audit yang diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor oleh pelaku politik yang berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga diperkirakan auditor akan menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik. Bentuk-bentuk auditing yang berbeda dengan yang diminta cenderung menimbulkan konflik dengan auditee dan menciptakan masalah politis (Power, 1999). Tingginya sorotan media pers terhadap kinerja partner juga memiliki korelasi terhadap motivasi partner melaksanakan audit pemerintah.
Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam kategori auditor internal dan eksternal (Mardiasmo, 2003b). Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
Memperkuat Value For Money (VFM) Audit
Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata dengan baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu dilakukan. Salah satunya dengan memperluas cakupan audit, tidak hanya audit keuangan (financial audit) tetapi juga value for money audit atau sering disebut performance audit. Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan, dan hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut (Malan et al., 1984).
Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan efisiensi (management audit) dan audit efektivitas (program audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor) secara hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan, dan (3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program, efektivitas pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program (Malan et al., 1984).
Tujuan memperkuat pelaksanaan VFM audit adalah meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Hal ini penting untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Nantinya DPR atau DPRD, menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya akuntabilitas publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan demokrasi.

PENUTUP
Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi yang relevan dan handal melalui strategic planning, strategic cost management, dan strategic management accounting untuk dapat menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk penentuan biaya dan harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam kerangka best value performance dan public sector scorecard.
Laporan Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk akuntabilitas publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif tentang kegiatan operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure) atas pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan memerlukan perangkat yang berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem akuntansi yang menggunakan sistem pencatatan berpasangan.
Audit terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan seharusnya tidak terbatas pada audit kepatuhan, tetapi juga audit keuangan (agar dapat memberikan pendapat atas kewajaran Laporan Keuangan), dan diperluas lagi dengan audit kinerja. Audit kinerja tersebut merupakan suatu bentuk evaluasi pertanggungjawaban kinerja sebagai sarana untuk memastikan bahwa value for money benar-benar telah diaplikasikan.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan melalui akuntansi manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor publik sudah sangat mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good governance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar