Selasa, 04 Oktober 2011

SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT

Peluang Usaha

 
Kamis, 29 September 2011 | 15:44  oleh Fahriyadi
SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya sudah ada sejak seabad silam (1)
Anda ingin membeli golok? Coba datang ke Kampung Galonggong, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Di kampung ini sejak lima tahun lalu, telah tumbuh dengan pesat kerajinan golok. Ada sekitar 20 perajin yang ada di sentra ini.

Kabupaten Tasikmalaya memang terkenal sebagai gudang produk kerajinan. Beberapa kerajinan, seperti kerajinan payung kertas atau mendong, kerajinan bordir, hingga kelom, ada di kota ini.

Namun, sebenarnya ada satu lagi sentra kerajinan yang mulai kondang sejak satu dasawarsa silam, yakni sentra kerajinan golok. Letak sentra ini di Kampung Galonggong, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya.

Menurut cerita, Kampung Galonggong memang sudah terkenal sebagai sentra produksi golok sejak zaman Belanda. Namun, para perajin di kampung itu baru menggelar dagangan secara terbuka pada medio 1990-an.

Enok Wida, pemilik PD Galonggong Suci di sentra kerajinan Golok ini mengungkapkan, di sentra kerajinan golok kini ada 20 perajin sekaligus pedagang golok. Sentra ini baru benar-benar terbentuk pada tahun 2000.

Perempuan pemilik kios golok berukuran 3x3 meter ini mengaku telah terjun ke usaha ini sejak 1999 lalu. "Saat saya membuka kios, baru ada empat pedagang termasuk saya. Tapi lama-lama banyak juga yang ikut jualan," ujar Enok.

Enok menambahkan, memang sudah lama warga Kampung Galonggong telah menjadi perajin golok dan pisau. Pekerjaan ini berlangsung turun temurun. "Sekitar 1.000 orang atau 75% dari warga Galonggong adalah perajin dan pedagang golok," jelasnya.

Halimah, pemilik UD Sepakat, yang juga menjual aneka jenis golok dan pisau di kios berukuran 2x3 meter juga mengakui bahwa tak dapat dipungkiri kerajinan golok telah menjadi "nyawa" bagi warga Kampung Galonggong.

Perempuan berusia 60 tahun yang mulai berdagang golok sejak tahun 2000 ini menyatakan langgengnya kerajinan golok di Galonggong selain karena alasan tradisi, juga lantaran warga tak punya pilihan pekerjaan lain. "Selain keahlian yang menurun pada anak dan cucu mereka, kebanyakan dari mereka bingung mencari pekerjaan lain," tegas perempuan yang kini juga mewariskan usaha ini kepada kedua putranya.

Halimah menambahkan, lantaran tradisi pembuatan golok nan kuat di Galonggong, membuat banyak agen atau distributor alat-alat pertanian hingga kolektor golok datang ke tempat ini. "Riwayat kampung ini memang erat dengan kerajinan golok jadi sulit jika berusaha mengubah sejarah tersebut," jelas Halimah yang bersuamikan perajin golok.

Alasan Halimah mau berdagang golok secara langsung setelah dia melihat banyak orang datang ke kampungnya hanya untuk mencari golok, pisau, sabit, dan berbagai alat pertanian.

Sementara bagi Eman Suherman, salah satu perajin golok di Kampung Galonggong, faktor lingkunganlah yang membuatnya beralih profesi menjadi perajin golok. "Setelah kembali dari rantau, saya memutuskan untuk jadi perajin golok karena mayoritas warga di kampung ini adalah pembuat golok," ungkap lelaki yang telah jadi perajin selama 17 tahun ini.

Eman sendiri membuat golok khusus untuk satu toko yang ada di sentra itu. Menurut Eman, golok buatannya pun cukup laku di pasaran. Karena itu, dia yakin, potensi kerajinan golok di kampungnya masih bisa berkembang lebih baik kalau perajin di situ mau mempertahankan kualitas dan semakin kreatif membuat aneka desain golok.

Ia menuturkan, di Ciamis yang berbatasan langsung dengan Tasikmalaya, kini juga sudah berdiri sentra kerajinan golok. Namun produk golok di situ masih kalau dibandingkan dengan produk golok Galonggong.

Lelaki 42 tahun ini mengaku sebagai generasi ketiga dari perajin golok di Galonggong. Eman pun meyakini, kerajinan ini masih bisa langgeng hingga 10 atau 20 tahun ke depan. "Selama golok menjadi kebutuhan primer petani rasanya kerajinan dan usaha perdagangan golok ini masih bisa bertahan lama," tutupnya.

Jumat, 30 September 2011 | 15:47  oleh Fahriyadi
SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya: Menangguk rezeki bila pesanan datang (2)
 
Para pembeli golok dan pisau tidak hanya dari datang dari warga lokal Tasikmalaya tapi juga seantero Jawa Barat, bahkan dari seluruh penjuru Indonesia. Besarnya pasar ini menjadi rezeki nomplok bagi pedagang di sentra kerajinan golok di Kampung Galonggong, Tasikmalaya.

Meski letak sentra kerajinan dan perdagangan golok ini jauh dari pusat kota Tasikmalaya, nyatanya tak menyurutkan para pecinta golok untuk datang ke Galonggong.

Menurut Enok Wida, pemilik PD Galonggong Suci, yang menjual aneka golok dan pisau, meski jalan tempat dia berjualan sepi oleh lalu lalang kendaraan, hal itu tak membuat usahanya mundur. "Biasanya, orderan datang via telepon dari para langganan tetap atau pelanggan baru yang umumnya datang saat hari libur," tutur ibu satu anak ini.

Biasanya pembeli yang mengorder via telepon tak membeli sebilah dua bilah golok. Mereka membeli hingga lusinan. Itulah sebabnya, Enok mengaku, kalau yang datang ke sentra ini hanya pembeli eceran, susah untuk mendapatkan untung memadai. "Penjualan secara satuan setiap harinya sangat kecil jumlahnya," ungkapnya.

Saat KONTAN menyambangi kios milik wanita 30 tahun ini, memang lagi sepi. Demikian juga dengan kios lainnya. Padahal, letak sentra ini sendiri terletak di Jalan Raya Banjar yang menghubungkan Tasikmalaya dan Banjarnegara. Sepinya pembeli eceran itulah yang membuat pedagang mengandalkan orderan golok dalam partai besar.

Enok menambahkan, produk jualannya ini telah merangsek ke seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Solo, Bandung, Medan, dan Makassar. "Sebulan kami bisa menjual hingga lima kodi dengan bilah golok ukuran normal antara 13 cm-16 cm dengan harga Rp 35.000 - Rp 75.000 per bilah," terangnya.

Selain itu, para perajin dan juga pedagang bisa mendapat untung tambahan kalau ada pesanan golok khusus untuk dikoleksi. "Biasanya bentuk golok pesanan itu mirip samurai dengan waktu pembuatan selama lima hari dengan harga Rp 1,5 juta per bilahnya," jelas Enok.

Oh, ya, pemesan golok koleksi ini selalu saja ada, lo, setiap bulannya. Bahkan Enok mengaku pernah mendapat pesanan golok dari seorang jenderal polisi.

Tak hanya golok, kerajinan pisau pun laris manis. Meski harga jual pisau ukuran 7cm - 22 cm relatif mahal, yakni berkisar Rp 10.000 - Rp 70.000 per bilahnya, perajin di Galonggok mampu membuat hingga 30 kodi sampai 40 kodi setiap bulannya. Dalam sebulan Enok bisa mendulang omzet hingga Rp 30 juta dari usahanya ini.

Hal serupa juga dirasakan Halimah, pemilik UD Sepakat yang menjual golok, pisau, serta perkakas pertanian di sentra ini. Menurut Halimah, tren penjualan dari pengunjung memang tak menentu, Namun, wanita 60 tahun ini masih dapat menjual hingga 80 bilah golok per bulan dengan rentang harga Rp 35.000-Rp 750.000 per bilah. Untuk pisau, Halimah menjual antara Rp 5.000-Rp 35.000.

Untuk penjualan pisau, Halimah mampu menjual hingga ratusan bilah per bulan. "Omzet saya sekitar Rp 15 juta-16 juta per bulan," jelas Halimah yang membuka kios dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam ini.

Halimah bilang bahwa tren penjualan meningkat 15%. "Tapi 2011, ini cenderung stabil," ungkapnya.

 
Senin, 03 Oktober 2011 | 16:13  oleh Fahriyadi
SENTRA GOLOK TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Sentra kerajinan golok Tasikmalaya: Kendala menebas ekspansi bisnis golok (3)

Tumbuhnya aktivitas kerajinan dan perdagangan golok di kampung Galonggong, Tasikmalaya berimbas pada suplai tenaga kerja. Produsen golok mulai kesulitan mencari tenaga kerja terampil. Tidak hanya itu mereka juga mengeluhkan ada kenaikan harga bahan baku tanduk.

Walaupun mampu meraup omzet puluhan juta rupiah saban bulan, bukan berarti produsen golok, pisau, dan alat pertanian di Kampung Galonggong, Tasikmalaya, luput dari masalah.

Salah satu masalah yang dihadapi pengusaha benda tajam itu adalah minimnya pasokan tenaga kerja terampil. Penyebabnya adalah banyak perajin golok memilih untuk merintis usaha sendiri.

Kesulitan mencari tenaga kerja itu dialami Halimah, produsen golok merek UD Sepakat. Ia bahkan kesulitan menambah produksi karena minimnya pekerja. "Sementara permintaan selalu datang," keluh Halimah.

Tak jarang, Halimah mesti membatalkan pesanan karena produksi tersendat. Kondisi itu sering ia alami ketika melayani pesanan golok milik kolektor. "Golok kolektor itu membutuhkan pekerja yang ahli dan pengalaman," jelas Halimah.

Untuk mendirikan usaha kerajinan sekaligus perdagangan golok, setidaknya butuh tiga pekerja yang memiliki keahlian berbeda. Mulai dari keahlian membentuk golok, keahlian mengasah hingga keahlian mengukir gagang golok.

Sementara itu, keahlian membuat golok tidak diperoleh dari jenjang pendidikan, tapi dari jam terbang pekerja. "Semakin lama ia bekerja, ia semakin mahir dan gajinya semakin besar," terang Halimah.

Eman Suherman, salah pembuat golok di kampung Galonggong mengakui kesulitan produsen golok itu. Ia bilang tenaga kerja seperti dirinya jumlahnya memang sudah terbatas. "Apalagi mencari perajin yang mahir membentuk dan mengasah golok sekaligus," kata pria yang sudah bertahun-tahun jadi perajin golok itu.

Dalam membuat golok, Eman mendapat upah antara Rp 10.000 - Rp 70.000 per bilah, tergantung harga goloknya. "Dalam sehari saya bisa dapat Rp 50.000 terkadang lebih," ucapnya.

Bayaran untuk si perajin itu relatif seragam, meskipun merek goloknya berbeda. "Standar gaji kami seperti diseragamkan pengusaha golok itu," kata warga asli Galonggong itu.

Karena modal terbatas, Eman tak kunjung bisa merintis usaha sendiri dan memperdagangkan merek golok sendiri. "Ekonomi di sini berkembang, tapi tidak merata pada pembuat golok seperti kami," keluh Eman. Dia berharap mendapat bantuan modal dari pemerintah agar bisa mandiri.

Kondisi sama juga disampaikan Yayat Sutisna, yang ahli mengukir golok dan membuat gagang. Yayat juga ingin membuka usaha sendiri tidak tergantung pada pemodal.

Selain masalah tenaga kerja, produsen golok juga kesulitan bahan baku berupa tanduk. Seperti yang dialami oleh Enok Wida, pemilik merek golok PD Galonggong Suci. Ia mengaku, belakangan ini pasokan tanduk sapi dan kerbau kian menipis.

Kesulitan untuk mendapatkan tanduk itu bukan kali ini saja, tapi sudah bertahun-tahun. "Selain sulit mendapatkannya, harga juga semakin mahal," keluh Enok.

Setiap tahun, kenaikan harga tanduk sapi atau kerbau itu berkisar antara 5%-7%. Begitu juga dengan kenaikan harga besi dan kayu yang fluktuatif. "Berbagai kesulitan bahan baku ini menyebabkan kami sulit menentukan harga jual yang ideal kepada pelanggan kami," jelas Enok.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1317285876/78681/Sentra-kerajinan-golok-Tasikmalaya-sudah-ada-sejak-seabad-silam-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1317372431/78793/Sentra-kerajinan-golok-Tasikmalaya-Menangguk-rezeki-bila-pesanan-datang-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78943/Sentra-kerajinan-golok-Tasikmalaya-Kendala-menebas-ekspansi-bisnis-golok-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar