Tepatnya 1 Desember 1957 di kota Wonogiri lahirlah seorang bayi laki laki dari rahim seorang ibu yang bernama Painem, lalu bayi itu di beri nama Sakidjan. Th 1970 Sakidjan tamat Sekolah Dasar berijazah di kota Jatiroto.
Singkat cerita 1973 atau tepatnya +18 Th kemudian, Sakidjan mencoba untuk mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta yang katanya sekejam kejamnya ibu tiri lebih kejam Kota Jakarta. “ Hmmm…apakah iya Jakarta seperti itu…? “ gumam Sakidjan. Tak perduli apa kata orang bahwa jakarta itu kejam Sakidjan pun membulatkan tekad untuk Hijrah ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta Sakidjan yang bermodal nekat (red : modal denkul) alias tidak punya keterampilan, Sakidjan pun bingung mau apa dan harus bagaimana sedangkan kerabat,saudara ataupun teman di kota yang semewah ini Sakidjan tidak punya.
Perlahan tapi pasti itulah salah satu prinsip yang ada di hati seorang Sakidjan. Dia mencoba untuk bergelut di bidang Mie walaupun kala itu dia tidak langsung berjualan sendiri. Jangankan untuk berjualan sendiri dorong gerobak saja Sakidjan tidak bisa. Dengan menenteng ember kesana kemari Sakidjan ikut berjualan keliling sambil dia pelajari apa saja yang harus dilakukan seorang pedagang mie, ya…mungkin cuma itu yang dia bisa saat itu. Dan satu lagi Sakidjan berkerja tanpa di gaji, yang penting dia bisa hidup di kota jakarta ini. “Orang bisa kenapa saya tidak…” itu adalah prinsip yang boleh kita katakan prinsip keduanya seorang Sakidjan. Tak kenal lelah, letih ataupun malu yang mungkin bahasa anak sekarang Gengsi, Tengsin, Siteng, what ever lah namanya, Sakidjan terus berusaha mencoba dan bertanya, dari mulai cara memukul kentongan lalu naik satu level mendorong gerobak, lalu naik mengaduk mie, naik lagi memasak mie, dan hingga akhirnya Sakidjan pun bisa berjualan mie sendiri. Itupun di tempuh oleh Sakidjan bukan dalam waktu yang singkat, selama tiga tahun Sakidjan ikut dengan orang.
“Kalau belum kita coba jangan pernah kita mengatakan kita tidak bisa” prinsip ke tiganya seorang Sakidjan. Tepatnya pada tahun 1975 Sakidjan mulai memberanikan diri untuk terjun berjualan mie sendiri, dengan cara menyewa gerobak dan mengambil mie dari orang china. Namun waktu itu di mata masyarakat khususnya masyarakat muslim mereka beranggapan bahwa mie itu terbuat dari bahan baku yang haram. Bahkan tidak jarang pelanggan Sakidjan menannyakan bumbu dan bahan yang digunakan terbuat dari apa, maklum kala itu kebanyakan yang mengkonsumsi mie hanya orang – orang non pribumi.
Satu tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1976 dia bertemu dengan seorang gadis asal kota Wonogiri yang bernama Saikem. Pada tahun 1977 Sakidjan dikaruniai seorang putra yang bernama Sriyono yang kini juga membantu mengelola di bagian produksi. Enam tahun kemudian, pada tanggal 23 Mei 1983 Sakidjan kembali dikaruniai seorang putra yang bernama Pandiono.Skom yang saat ini juga membantu mengelola usaha di bagian marketing, outlet dan kerjasama. Tiga tahun kemudian kembali Sakidjan di karuniai seorang putri yang bernama Wuri Triningsih yang telah menyelesaikan tugas akhirnya di Ilmu Kebidanan.
Kembali ke tahun 1975 saat Sakidjan mulai berjualan mie sendiri. “ Jujur, Ulet dan Pantang menyerah…” sepertinya ini adalah modal awal sakidjan. Jujur, bukan hanya dalam hal materi tapi apapun yang Sakidjan lakukan atau perbuat dia harus jujur karena Sakidjan yakin bahwa orang jujur akan di mudahkan segalanya baik itu razekinya, jalan hidupnya walau terkadang perih dan sakit intinya kita harus tetap jujur. Ulet, bukan sejenis binatang melainkan sebuah sifat yang ada pada diri Sakidjan. Orang jawa bilang “ Time is Money…” yang artinya waktu adalah uang, bukannya Sakidjan mata duitan tapi semua itu demi tuntutan hidupnya yang harus memberi nafkah anak dan istrinya. Tak kenal hujan, panas dan sakit Sakidjan harus tetap berjualan. Di dalam benak seorang Sakidjan jika kita belum sampai dirawat di RS ( Rumah Sakit ) atau kita sakit tapi masih bisa bangun dari tempat tidur berarti kita masih bisa untuk mencari nafkah. Pantang menyerah, ketika itu penjualan mie Sakidjan tak ada kenaikan, pada hal dia harus membayar sewa gerobak yang per harinya Rp. 200,- sedangkan pada waktu itu harga mie baru Rp. 60,-. Rasa putus asa mulai menyelimuti benak Sakidjan, karena pada waktu itu hanya segelintir orang yang mau makan mie.
Pantang menyerah yang ditanamkan Sakidjan berhasil mengalahkan rasa putus asanya. Tak perduli di tidur di emperan toko bersama teman – temannya, bahkan tak jarang dia harus menahan rasa laparnya karena uang hasil penjualan hanya cukup untuk belanja dan bayar sewa gerobak. Atas kejujuran, keuletan dan pantang menyerahnya lambat laun Sakidjan lambat laun usahanya terus menanjak. Hingga pada tahun 1981 Sakidjan sudah mulai memproduksi mie sendiri, walaupun masih tertatih tatih dan dengan modal yang sedikit. Sakidjan terus berusaha kegagalan demi kegagalan di laluinya hanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dan akhirnya Sakidjanpun berhasil mendapatkannya meski harus kehilangan materi yang tidak sedikit. Saat itu Sakidjan sudah mempunyai tempat untuk “mangkal” tepatnya di senayan pintu 1. Tapi sampai pada tahun itu mie masih belum banyak yang mengkonsumsi, kebanyakan yang mengkonsumsi masih orang China. Agar persepsi masyarakat berubah Sakidjan bersama teman – teman satu profesinya berinisiatif untuk menambahkan kata MIE AYAM. Dan ternyata dengan menambah kata “ayam” Sakidjan bersama teman – temannya berhasil meyakini masyarakat bahwa mie itu halal untuk di konsumsi.
Waktu terus berjalan dan usaha Sakidjan terus menanjak. Di tahun 1987 Sakidjan sudah mempunyai 15 anak buah (Karyawan), beberapa pangkalan (red: tempat jualan) yang tersebar di kawasan senayan dan jakarta selatan serta Sakidjan serta mensuplai mie kepada sekitar 50 gerobak dorong.
Pengalaman adalah mata pelajaran yang tidak di ajarkan di sekolah manapun. Lagi lagi itulah prinsip Sakidjan. Di tahun itu pula (1987) ia mendapatkan pembinaan dari Bogasari. Pembinaan demi pembinaan di dapatkannya,hingga solusi dari permasalahnya selama ini, di dapatkannya pula, dari pangkalan berubah menjadi Outlet, dari segi service terhadap konsumen dll. Rasa ingin maju Sakidjan kian menggebu gebu apa yang dia dapat dari pembinaan Bogasari di saring dan serap hingga akhirnya Sakidjan terus eksis sebagai pengusaha MIE AYAM BAKSO. Namun pada waktu itu Sakidjan masih memakia nama MIE TUNGGAL RASA untuk setiap outletnya. Karena nama tersebut adalah nama paguyuban dari Bogasari yang mana siapapun yang memakai produk Bogasari berbasis tepung terigu berhak untuk memakai nama tersebut. Akhirnya Sakidjan mengganti nama menjadi MIE KONDANG yang artinya Mie terkenal, harapan Sakidjan mienya bisa terkenal minimal seluruh Indonesia.
Waktu terus berjalan Sakidjan pun terus mengikuti pembinaan – pembinaan dari Bogasari, walapun begitu usahanya tetap berjalan itupun salah satu hasil dari pembinaan Bogasari. Dimana kini tanpa adanya campur tangan Sakidjan usahanya mampu melayani 7 Outlet yang tersebar di Jakarta Selatan dan Tanggerang, 80 pedagang gerobak dorong, belum lagi jika ada pesanan untuk acara – acara. Hinga akhirnya pada tahun 2004 MIE KONDANG Sakidjan sampai di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Pada waktu itu MIE KONDANG nya di percayai melayani acara Open House di Cikeas yang mana per harinya bisa mencapai 2000 porsi selama satu bulan.
Tidak terasa 35 tahun sudah tepat pada tahun ini 2010 Sakidjan merintis usahanya, dan kini Sakidjan mampu melayani 10 outlet yang beberapa adalah kerjasama, melayani 135 pedagang gerobak dorong serta melayani catering untuk Pejabat – pejabat tinggi negri ini khususnya TNI.
Itulah sepenggal kisah tentang Bpk. Sakidjan diamana beliau mendirikan usahanya dalam rentang waktu yang panjang.
“Pahit itu harus kita rasakan karena manisnya tinggal kita telan”
sumber: miekondang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar