Tampilkan postingan dengan label lukisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lukisan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 September 2011

INSPIRASI AHMAD NURIL WAHYUDIN


Peluang Usaha




 
Rabu, 28 September 2011 | 12:54  oleh Ragil Nugroho
INSPIRASI AHMAD NURIL WAHYUDIN
Nuril jadi juragan tas yang terinspirasi katak (1)
Keinginan membantu sesama membuat Ahmad Nuril Wahyudin bersemangat menjadi pengusaha. Produsen merek tas Amphibi dan Reptile itu bahkan bisa menembus pasar ekspor ke mancanegara. Selain menyediakan lapangan kerja bagi warganya, Nuril berbahagia bisa mendulang omzet lebih dari Rp 150 juta per bulan.

Bagi Ahmad Nuril Wahyudin menjadi pengusaha adalah tujuan hidup. Produsen tas merek Amphibi dan Reptile yang sukses menembus pasar ekspor ke Amerika Serikat (AS) dan juga Belanda ini memilih menjadi pengusaha karena ingin memberdayakan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Lamongan, Jawa Timur.

Walau terdengar idealis, tetapi begitulah kenyataannya. Menurut Nuril, demikian dia akrab disapa, agar dipercaya bisa membantu warga di sekitarnya, dia harus membuktikan lebih dulu bahwa dia mampu meraih sukses.

Dari situlah, pria kelahiran Lamongan, 3 Oktober 1967, ini mulai merintis usaha pembuatan tas secara mandiri pada 2001 lalu di Jakarta. Produk pertama tasnya itu dia beri merek Amphibi.

Nama Amphibi ditemukan Nuril tanpa sengaja. Suatu waktu ia bertemu tulang belulang katak mati yang menurutnya menarik dan unik. "Entah kenapa saya tertarik lihat susunan tulang katak," kenang Nuril.

Karena tulang katak itu memiliki susunan rapi dan unik, Nurul bergegas membuat sketsa tulang katak itu pada secarik kertas. Dari situlah Nuril mendapatkan ide untuk memberi merek dan logo Amphibi pada produk tasnya.

Bagi Nuril, binatang amfibi itu tidak sekadar merek. Namun juga memberi pesan filosofis bahwa katak punya kemampuan melompat yang jauh. Nurul berharap bisnisnya bakal seperti lompatan katak, menembus jauh ke depan.

Namun, sebenarnya, tas merek Amphibi tak benar-benar melompat jauh. Menurut Nuril, produk tasnya memang laku di pasaran, tapi belum menghasilkan keuntungan seperti yang dia harapkan. "Empat tahun lamanya saya menggarap tas Amphibi ini," ujar Nuril.

Sebagai pengusaha tentu pantang bagi Nuril untuk berputus asa. Dia malah mengembangkan produk tas baru yang dia beri merek Reptile sebagai personifikasi dari ular.

Nuril bilang, ular punya daya tahan hidup yang tinggi. "Karena itu, meski butuh waktu, yang penting tujuan tercapai," terang bos CV Vision Process ini.

Ternyata di merek Reptile inilah Nuril ketemu keberuntungan. Omzet penjualan tas Nuril pun merangkak naik dengan pasti. Bahkan, setelah meluncurkan tas Reptile ini, dia dengan mudah meraih omzet lebih Rp 150 juta per bulan. Selain menembus pasar ekspor, tas bikinan Nuril juga dipasarkan lewat outlet peralatan outdoor. "Termasuk di sekolahan seperti British International School," terang Nuril.

Kini Nuril sudah mampu mempekerjakan delapan karyawan. Bersama mereka ini, dia mampu memproduksi 1.600 tas per bulan. Sekitar 600–700 tas di antaranya adalah tas laptop yang digemari mahasiswa dan karyawan kantoran.

Harga jual tas Nuril itu mulai Rp 95.000 hingga Rp 650.000 per buah. Agar penjualan bisa kinclong, Nuril terkadang ikut tender pengadaan tas di kelembagaan pemerintah atau swasta. "Agustus lalu kami dapat proyek tas Rp 300 juta," kata pria sederhana ini.

Nuril bilang, selain memiliki desain menarik, jahitan tas bikinannya juga halus dan tidak mudah rusak. Sehingga, tas produksi Nuril pernah digunakan dalam kegiatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam menjalankan usaha, Nuril mengaku tidak ingin berniat mengejar keuntungan semata. Ia bahkan memiliki prinsip berbisnis untuk menambah modal usaha agar lebih besar lagi. "Untuk mencari modal itu butuh kerja keras," katanya.

Selain kerja keras, Nuril mengaku menjalani bisnis dengan kesabaran. Mulai dari sabar untuk menjualkan tas, sabar menunggu pesanan, ataupun sabar dalam menunggu produksi.

Ia bilang, kesabaran ibarat tiang penyangga dalam membangun usaha. "Banyak orang punya modal besar tapi usahanya tak terwujud karena tidak sabar," kata Nuril.

Setelah sukses seperti sekarang, Nuril pun mulai berani menghidupkan cita-citanya untuk membuka peluang kerja bagi orang lain. Keuntungan dari bisnis itu menurut Nuril bukan untuk tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk karyawan dan anak-anak yang putus sekolah.
Kamis, 29 September 2011 | 13:09  oleh Ragil Nugroho
INSPIRASI AHMAD NURIL WAHYUDIN
Nuril jual replika lukisan untuk modal usaha (2)

Sebelum menjadi juragan tas merek Amphibi dan Reptile, Nuril Wahyudin adalah pelukis. Karena ingin membuka lapangan kerja, Nuril mendirikan usaha pembuatan tas secara patungan bersama seorang temannya. Namun, di tengah jalan usaha itu pecah kongsi. Alhasil, Nuril pun bikin usaha secara mandiri.

Nuril memang lahir dari keluarga pengusaha yang agamis di Lamongan, Jawa Timur. Namun, bakat Nuril yang sudah menonjol sejak kecil adalah bakat melukisnya. Bahkan, ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), Nuril beberapa kali jadi juara lomba melukis baik tingkat daerah maupun tingkat nasional. "Bakat melukis saya dari ayah, sedangkan dari ibu, saya mewarisi kemampuan beliau sebagai pengusaha," terang Nuril.

Usai menamatkan sekolah menengah atas (SMA), sesuai tradisi keagamaan di lingkungannya, Nuril juga melanjutkan pendidikan agama ke Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 1985. Dia menamatkan pendidikan agama di Gontor ini empat tahun kemudian.

Namun, meski sekolah agama, Nuril tak pernah lupa melukis, tapi saat itu dia lebih banyak melukis kaligrafi. Bahkan ia menjadi perintis Asosiasi Kaligrafi Darussalam (AKLAM) di Gontor, yang para lulusannya banyak menghasilkan karya kaligrafi.

Lukisan Nuril pun sudah mempunyai nilai komersial. Dia mengenang, sebuah lukisan pemandangan hasil sapuan kuasnya laku Rp 40.000. Nilai segitu sungguh sangat besar pada 1989 silam. "Duitnya saya berikan ke ibu yang ketika itu usahanya lagi jatuh," kenang Nuril.

Usai tamat dari Gontor, Nuril tak ingin jadi ustad. Dia masih memilih jalur seniman untuk menapak hidupnya. Setelah menetap di Jakarta pada 1990, Nuril mulai menjual karya lukisannya. Saat itu harga lukisan yang paling mahal Rp 7 juta. "Lukisannya tentang matahari terbenam," kenangnya.

Bisa dibilang Nuril lumayan sukses sebagai seniman. Bahkan, dari berjualan lukisan itu dia punya cukup tabungan untuk masa depannya. Namun, di relung hati Nuril, dia masih merasakan adanya kekosongan batin bahwa menjadi pelukis dia tidak optimal membantu sesamanya, terutama dalam soal pekerjaan. Itulah sebabnya, ketika beberapa temannya mengajaknya bisnis pembuatan tas, dengan serta-merta Nuril mengangguk setuju.

Karena memiliki kemampuan desain serta manajemen yang baik, ia pun menjadi tulang punggung usaha bersama tersebut. Untuk tenaga kerjanya, Nuril mencari anak-anak putus sekolah dari berbagai daerah.

Namun usaha patungan itu tidak berlangsung lama karena terjadi perbedaan pandangan. "Intinya terjadi konflik dan mereka ingin saya mundur," ujarnya.

Meski kecewa karena merasa disingkirkan oleh sekondannya, Nuril tidak menaruh dendam. "Bahkan semua aset usaha yang sudah saya rintis saya relakan," kenangnya.

Nuril tidak berputus asa. Dia pun menyiapkan strategi baru untuk membuka usaha sendiri. Lagi pula ia sudah memiliki banyak koneksi.

Sebagai modal awal, ia pun menjual salah satu replika lukisan seharga Rp 14 juta. Dan pada 2001, ia pun memulai usaha dari nol. Bersama para pekerja dari berbagai pelosok daerah, ia dengan penuh semangat memasarkan produk tasnya itu ke para koleganya.

Karena memang sudah dikenal banyak kalangan, ia pun tidak kesulitan memasarkan produk tas Amphibinya. Dalam waktu relatif singkat, ia bisa menyaingi pemasaran usaha rekan-rekannya yang lama.

Di saat sedang menikmati keberhasilannya membangun usaha sendiri, musibah kembali datang. Galeri lukisannya di Kemang, Jakarta Selatan, hangus terbakar pada 16 Desember 2002. Nuril menaksir kerugian mencapai miliaran rupiah. "Namanya manusia biasa tentu saya kecewa," ujarnya.

Namun, Nuril tak mau berlama-lama bersedih. Ia harus kembali bangkit, apalagi mengingat banyak anak-anak putus sekolah yang menggantungkan harapan padanya.

Dengan modal semangat pantang menyerah, Nuril tetap menjalankan usaha tasnya. Bahkan ia mengaku usaha tasnya berkembang semakin pesat pascakebakaran itu. "Rezeki manusia memang sudah diatur," ujarnya.

Pada 2005, Nuril membuat satu merek tas lagi, yakni Reptile. Kedua merek tas Nuril pun sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1317189267/78535/Nuril-jadi-juragan-tas-yang-terinspirasi-katak-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78658/Nuril-jual-replika-lukisan-untuk-modal-usaha-2

Jumat, 16 September 2011

SENTRA LUKISAN JELEKONG, BANDUNG

Peluang Usaha

SENTRA USAHA

 
Kamis, 15 September 2011 | 14:05  oleh Ragil Nugroho
SENTRA LUKISAN JELEKONG, BANDUNG
Sentra lukisan Jelekong: Sentra lukisan terbesar di Bandung (1)

Sebagai pusat penghasil lukisan ternama di Bandung, Desa Jelekong memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Lebih dari 10% dari jumlah penduduk Jelekong memiliki profesi sebagai pelukis. Beragam lukisan asal desa ini, bahkan sudah dipasarkan hingga ke luar negeri.

Sejak lama, Kota Bandung terkenal menyimpan potensi seni yang tinggi. Bukan hanya menjadi kiblat dunia fesyen, kota berjuluk Kota Kembang ini juga memiliki sentra lukisan yang terletak di Desa Jelekong, Bandung Selatan.

Sentra pembuatan lukisan yang muncul sejak 1960-an ini tepatnya berada di Jalan Raya Laswi, Baleendah, Kabupaten Bandung. Jika kita menyusuri jalanan itu, akan terlihat ratusan kanvas yang dijemur di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan.

Ada sekitar 20 galeri di sepanjang jalan desa itu. Maklum, banyak penduduk desa ini yang memang memiliki profesi sebagai pelukis. Dari total penduduk Jelekong yang sebanyak 5.000 orang, 600 di antaranya adalah pelukis.

Indira Sukmawati, pemilik galeri Karya Siliwangi mengungkapkan, dalam sehari, pekerja seni di galerinya bisa menghasilkan dua hingga lima lukisan dengan berbagai macam objek. "Lukisan kami kadang disebut kerajinan tangan, karena dikerjakan siang dan malam. Pelukis juga tak memiliki latar belakang pendidikan seni," ujar Indira yang mempekerjakan 10 pelukis di galerinya.

Karena berbekal ilmu melukis otodidak, gaya atau teknik menggambar para pelukis ini juga beragam. Mulai dari teknik pisau palet dan sapuan kuas biasa hingga cokcrok.

Teknik terakhir merupakan cara melukis dengan spon yang muncul akhir 1990-an. Tak hanya disukai perajin, lukisan dengan teknik ini juga mengundang minat pembeli. Bahkan, teknik ini bertahan sampai saat ini. Para pelukis memadukannya dengan teknik pisau palet untuk pemandangan alam.

Sentra ini memiliki perajin yang ahli melukis panorama pedesaan, pacuan kuda, buah-buahan, kereta kencana, ikan koi, dan adu ayam.

Karya lukisan penhuni Desa Jelekong pun sudah menyebar di mana-mana, seperti Jakarta, Semarang, Bogor, Bali, Malaysia, hingga Arab Saudi. Beberapa galeri dan gerai penjualan lukisan di Bandung pun menjajakan lukisan seniman Desa Jelekong. Tentu, harga jual mereka lebih tinggi.

Menurut Haryono, pemilik galeri Margahayu, meski diproduksi secara massal, lukisan pelukis Jelekong tetap menarik minat banyak wisatawan. "Harganya murah, berbeda dengan lukisan perupa terkenal yang mencapai jutaan," ujarnya. Demi menyambung hidup, cita rasa seni rupa ini memang dikolaborasikan dengan industri yang mengikuti selera pasar.

Harga jual lukisan Jelekong bertema pemandangan di atas kanvas berukuran 135 cm x 40 cm berkisar Rp 150.000 hingga mencapai harga Rp 10 juta rupiah. Harga jual itu ditentukan oleh ukuran, penggunaan cat, serta tingkat kesulitan. Namun, secara umum, harga lukisan di Jelekong berkisar Rp 100.000-Rp 15 juta. Di galerinya, Haryono bisa menjual antara 10 hingga 30 buah lukisan setiap bulan.

Bila tak sempat mampir ke Jl Raya Laswi, konsumen juga bisa menemukan lukisan asal Jelekong ini di pusat Kota Bandung, tepatnya di kawasan Braga. Di jalan sepanjang 700 meter itu, berjajar pedagang lukisan kaki lima hingga galeri lukisan ternama, seperti galeri seni jalanan.

Sentra lukisan Jelekong ini terus berkibar seiring perhatian serius dari Pemerintah Kota Bandung. Menurut Haryono, Januari lalu, Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf mendorong lokasi ini sebagai kampung pariwisata sekaligus mendukung pelaksanaan Festival Jelekong 2011. "Pemerintah berharap, festival yang direncanakan pada 2011 ini bisa menggali dan memamerkan potensi Jelekong," tegasnya.

Haryono dan para pelukis lainnya pun memendam harapan yang sama. Dengan adanya dukungan dari pemerintah provinsi dan kabupaten, mereka yakin, potensi Jelekong bisa lebih tergali dan dioptimalkan. "Kami optimistis, masa depan kampung ini akan lebih baik," tutur Haryono.

Sumber:

 http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77500/Sentra-lukisan-Jelekong-Sentra-lukisan-terbesar-di-Bandung-1

Rabu, 07 September 2011

PELUANG BISNIS LUKISAN KACA

Peluang Usaha

INDUSTRI KREATIF

 
Selasa, 06 September 2011 | 14:18  oleh Bambang Rakhmanto, Handoyo, Dea Chadiza Syafina
PELUANG BISNIS LUKISAN KACA
Mengarsir untung dari lukisan kaca

Menyalurkan bakat seni lukis ternyata tidak selalu harus di atas kanvas. Ada juga pelukis yang berkarya di atas media kaca. Harga lukisan kaca ini mulai belasan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah. Peminatnya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga datang dari luar negeri.

Ada-ada saja cara orang untuk menyalurkan bakat seninya. Seperti yang dilakukan oleh para penghuni Sanggar Alam Sunyaragi di Cirebon, Jawa Barat, yang mengembangkan seni lukis cat minyak melalui media kaca.

Aktivitas para seniman seni lukis media kaca di Sunyarangi itu sudah berjalan sejak 1997 lalu. Lantaran sudah kondang, para pelukis di Sunyarangi itu sering mendapatkan pesanan dari berbagai daerah, bahkan juga dari luar negeri. "Lukisan kaca kami pernah dijual ke Jepang, Korea, dan Singapura," kata Dian Mulyadi, pimpinan Sanggar Alam Sunyaragi.

Pada 2005 silam, pelukis Sunyarangi pernah mendapat pesanan lukisan kaca hingga 500 lukisan dari Korea Selatan. Pesanan itu datang dari seorang pemilik restoran ternama di Korea Selatan.

Sebagai karya seni, lukisan Sunyarangi memang punya daya pikat dalam hal gradasi warna. Tak hanya itu, lukisan media kaca besutan Sunyarangi dikerjakan dengan cara yang unik, yakni dengan teknis lukis terbalik. "Melukisnya berbeda dari melukis biasa," ujar Dian.

Soal motif lukisan, tidak jauh beda dengan motif seni batik Cirebon, seperti motif mega mendung dan juga motif wadasan. "Kami mengambil ciri lukisan dari batik Cirebon," ungkap lelaki asli Kota Udang itu.

Untuk mengerjakan lukisan itu, Dian mempekerjakan delapan pelukis yang bisa menghasilkan 60-80 lukisan wayang dan lukisan kaligrafi dalam sepekan.

Kalau sedang banyak permintaan, bahkan Dian bersama delapan pelukis Sunyarangi bisa menggenjot produksi hingga 100 lukisan dalam sepekan. Tak heran dalam sebulan, Dian mampu mendulang omzet hingga sebesar Rp 30 juta.

Soal harga lukisan memang tergantung besar kecilnya lukisan dan tingkat kerumitan gambar. Untuk lukisan kaca ukuran 10 x 15cm dijual harga Rp 15.000 per lukisan. Adapun lukisan yang berukuran 50 X 60 cm, Dian menjualnya seharga Rp 350.000. "Harga sudah termasuk bingkai," kata Dian.

Selain memproduksi lukisan yang dijual secara massal, Dian juga memproduksi lukisan pewayangan di atas media kaca. Namun, lukisan pewayangan hanya dibuat khusus berdasarkan pesanan. "Setiap wayang lukisan kaca juga memiliki makna dan filosofis yang berbeda," terang Dian.

Pasar lukisan pewayangan itu juga tertentu saja, terutama mereka yang percaya dengan pewayangan. "Ada yang percaya lukisan tokoh wayang tertentu bisa menghindarkan kekuatan jahat," terang Dian.

Untuk memesan lukisan pewayangan tidak bisa sembarangan. Dian bilang, pemesanan lukisan mesti sesuai dengan weton atau hari kelahiran dari si pemesan. Dian memberi contoh, jika pemesan lahir pada hari Senin disarankan memilih tokoh lukisan Arjuna. Jika pemesan lahir hari Selasa, disarankan memilih tokoh lukisan Bima.

Soal harga, lukisan pewayangan juga lebih mahal ketimbang lukisan biasa karena proses pengerjaannya yang sulit dan sakral. "Beda harganya bisa 10 kali lipat," ungkap Dian.

Dian memberi contoh, untuk lukisan pewayangan ukuran 50cmx60cm saja, bisa berharga hingga Rp 1,5 juta. Bahkan, Dian pernah menjual lukisan pewayangan menggunakan media kaca itu dengan harga Rp 80 juta dengan ukuran 2mx3m.

Walaupun harganya mahal, lukisan pewayangan tetap saja ada peminatnya. Selain disenangi kolektor, lukisan pewayangan di atas media kaca itu banyak diminati pejabat daerah maupun pejabat pusat.

Untuk membuat lukisan pewayangan itu setidaknya menghabiskan waktu tiga hari hingga 10 hari. Proses pengerjaan lukisan yang berlangsung lama karena setiap lukisan hanya boleh dikerjakan oleh satu pelukis saja. Dian mengutip laba bersih dari lukisan wayang itu antara 40% hingga 50% setelah dikurang ongkos pelukis.

Media kaca sepertinya memang populer di kalangan seniman lukis. Selain kaca lembaran, ada juga pelukis yang menuangkan kreativitasnya di atas kaca yang sudah berbentuk stoples atau botol.

Inilah yang dilakukan oleh Dyah Rachmalita pemilik galeri Lita Decorative Glass Painting di Malang, Jawa Timur.

Dyah melukis di atas stoples dan botol kaca mulai sejak 2007 lalu. Ide awal melukis di media stoples dan botol bermula dari keinginan untuk mempercantik perabotan berbahan kaca di rumahnya. Karena menarik, seorang kawannya menyarankan untuk menjual lukisan di stoples dan botol itu dalam sebuah pameran di Malang. “Saat pameran itu ternyata produk saya ludes terjual,” kata Dyah.

Sejak itulah, Dyah mulai gencar menjajakan kreasinya ke seluruh Indonesia. Hingga kini, ia telah memiliki pelanggan stoples dan botol kaca lukis itu dari Aceh, Kalimantan, Bandung, dan juga Jakarta.

Untuk memproduksi lukisan di atas stoples dan botol tersebut, Dyah sengaja mencari bentuk stoples atau botol dengan desain yang unik. Selanjutnya, Dyah melukis stoples atau botol tersebut dengan bahan lukisan yang datangkan langsung dari Italia. “Cat yang ada di Indonesia tidak cocok untuk kaca,” terang Dyah.

Soal harga lukisan di stoples dan botol itu juga bervariasi. Untuk lukisan di media stoples, Dyah mematok harga antara Rp 25.000 hingga Rp 100.000 per unit. Untuk lukisan media botol, Dyah menjualnya seharga Rp 125.000. Bahkan, untuk beberapa model lukisan, Dyah mampu menjual hingga ratusan juta rupiah.

Soal keuntungan dari penjualan lukisan stoples dan botol tersebut, Dyah bisa mengantongi hingga 20% dari harga jual. Nah, di saat bulan Ramadan seperti sekarang adalah masa panen bagi Dyah. "Pada bulan puasa seperti sekarang kenaikan pesanan dua kali lipat, kalau biasanya 40 item menjadi 80 item," terang Dyah.

Agar tetap berkreasi, saat ini Dyah berencana mencari media lukis baru. Ia akan melukis di media kaleng krupuk.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/76718/Mengarsir-untung-dari-lukisan-kaca