Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Oktober 2011

Arvin Miracelova, Mendidik Anak Lewat Tayangan Televisi


PDF Cetak E-mail
Selasa, 04 Oktober 2011 12:00
Saat ini, ilmu yang didapat oleh anak-anak tidak selalu hadir dari sekolah yang memberikan pendidikan yang formal. Seringkali bahkan, televisi dan film yang ditonton oleh anak-anak, bisa memberikan pengaruh yang sangat hebat pada moral dan cara pandang sang anak. Untuk itu, sangat penting hadirnya sebuah tayangan yang mendidik yang sesuai dengan usia sang anak. Hal itu pun sangat disadari oleh Arvin Miracelova, saat ia memutuskan untuk menjalankan sebuah proyek televisi dengan konten edukatif.

Arvin-MiracelovaArvin Miracelova adalah pendiri Student Music Television (SMTV) dan Talent On Screen (TOS) Academy. Melalui usaha yang berdiri pada 2007 itu, lelaki yang kini berusia 36 tahun ini mampu memproduksi beragam acara, lebih dari 2000 jam tayang, yang ditayangkan di 30 televisi lokal. Proyek-proyek yang telah dijalankan seperti ekspedisi klip, video klip, drama musikal, yang telah bekerjasama dengan lebih dari 100 sekolah di seluruh Indonesia.

Sebagai orang yang bekerja sebuah Production House, Arvin mengaku gelisah melihat program-program tayangan anak-anak yang biasa ditonton di televisi saat ini. Banyaknya tayangan yang mengobral kekerasan di televisi, membuat Arvin bertekad untuk meracik sebuah program yang tak hanya mendidik tapi juga sesuai dengan minat dari si anak.

“Bisnis ini lahir dari kemarahan saya melihat tontonan anak-anak di televisi, khususnya waktu itu anak saya, yang seringkali menonjolkan faktor kekerasan dan hal lain yang tidak mendidik. Karena saya memang bekerja di sebuah PH (Production House), jadi saya pikir kenapa saya tidak membuat saja sebuah tontonan yang bisa mendidik anak-anak memalui sebuah program tayangan televisi yang jauh dari unsur kekerasan dan sarat akan sisi edukatif,” ujar Arvin kepada CiputraEntrepreneurship.com, saat ditemui di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Dengan mengedepankan content tayangan yang mengedepankan sisi pendidikan dan music, Arvin memulai usahanya dengan memperkuat jaringan (networking) khususnya dalam bentuk komunitas, atau community base. Dengan demikian, SMTV pun kini telah berkembang menjadi SMTV networks yang telah bekerjasama dengan puluhan TV lokal di seluruh Indonesia.

Dalam menjalankan bisnisnya Arvin mengusung tiga konsep yang disebutnya sebagai golden triangle; dimana di satu sisi itu ada komunitas pelajar (edukasi), lalu komunitas musik melalui program CSRnya si artis, lalu satu sisi lagi adalah content yang berisi nation building (pariwisata, budaya). Golden triangle ini akan selalu menjadi roh dari tayangan yang dia buat. Arvin berprinsip, setiap tayangan dia buat tidak sekadar hiburan tetapi juga bermanfaat. Konsep ideal Arvin inilah yang kemudian menarik perhatian para pemilik televisi-televisi lokal Karena respon yang besar dari masyarakat, SMTV pun coba menggarap sektor pendidikan yang fokusnya pada pendidikan di dunia broadcastingtelevisi dan film, khusus untuk kids and teens.

“Sebenarnya di luar negeri sudah banyak lembaga pendidikan seperti ini. Tujuan utama adanya sekolah ini seberanya bukan untuk mendidik anak-anak untuk terjun ke dunia televisi atau film. Kami ingin agar siswa didik kami bisa mengembangan sisi kreatif mereka, untuk nantinya mereka bisa lebih inovatif dalam berfikir dan lebih lepas dalam mengekspresikan bakat mereka,”

Sejauh ini akademi Talent On Screen (TOS) ditampuk menjadi sebuah bisnis pendidikan. Langkah yang kami jalankan pun sudah dimulai dengan sering mendatangkan siswa-siswa dari luar negeri untuk sama-sama mengerjakan proyek, yang nanti hasilnya akan ditawarkan ke luar negeri. Hasilnya, Arvin pun berhasil Penghargaan terakhir yang diperolehnya adalah International Young Creative Entrepreneur (IYCE) British Council Award 2011 untuk International Screen Category.

Untuk mengembangkan bisnis pendidikannya, Arvin berharap bisa menjadikan akademi TOS sebagai network untuk membangun talenta-talenta muda dari sabang sampai marauke. Dengan demikian akademi TOS yang ditunjang oleh jaringan SMTV bisa menjadi pusat pertukaran konten tayangan yang mendidik bagi kalangan anak-anak di Indonesia.

“Misalnya ada sebuah paket tayangan wisata yang dibuat oleh anak-anak di Aceh, untuk ditayangkan di Bali, kami bisa menjadi jembatan untuk itu. Sebaliknya, anak-anak Bali pun bisa memproduksi sebuah tayangan yang bisa ditonton di mana saja, dengan SMTV sebagai jembatannya. Selain itu, SMTV juga bisa menjadi pusat dari quality control sebuah tayangan yang memang layak tayang, untuk disebarkan ke seluruh daerah di Indonesia, bahkan jika benar-benar bagus, nanti akan kami sertakan ke luar negeri sebagai sebuah paket yang layak jual,” jelas Arvin.

Untuk memperluas jaringannya, Arvinpun membuka kerjasama dengan calon mitra yang terpanggil untuk menggeluti bisnis pendidikan ini. Dengan tujuan untuk membangun sebuah komunitas belajar, mitra akan ditawarkan untuk memilih antara dua paket kerjasama. Untuk pendidikan anak-anak, biaya investasinya sebesar Rp. 150 sampai Rp. 250 juta. Sedangkan untuk pendidikan anak-anak hingga remaja, biaya investasinya sebesar Rp. 300 hingga Rp. 500 juta. Biaya tersebut nantinya akan dipakai untuk biaya pembuatan replika stasiun TV, lengkap dengan peralatannya. Nantinya, selain untuk produksi, studio ini bisa disewakan kepada sekolah-sekolah yang memiliki ekskul fotografi atau videografi. (*/ Gentur)

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/teknologi-informasi/11685-arvin-miracelova-mendidik-anak-anak-lewat-tayangan-televisi.html

SOCIAL ENTREPRENEUR ANDI MUHAMMAD ARIF HIDAYATULLAH

Peluang Usaha

 
Selasa, 04 Oktober 2011 | 13:34  oleh Fahriyadi
SOCIAL ENTREPRENEUR ANDI MUHAMMAD ARIF HIDAYATULLAH
Andi mendirikan bank kotoran ternak untuk kesejahteraan petani

Prihatin melihat nasib petani yang terimpit harga pupuk kimia, Andi Muhammad Arif Hidayatullah menggagas pendirian Bank Kotoran Ternak. Selanjutnya, kotoran itu diolah menjadi pupuk organik yang dijual kepada para petani dengan harga murah. Alhasil, petani pun akan terbebas dari pupuk kimia yang harganya semakin mahal.

Hasrat kuat untuk meningkatkan kesejahteraan para petani di sekitar tempat tinggalnya, membawa Andi Muhammad Arif Hidayatullah terlibat dalam pendirian dan pengelolaan Koperasi Syariah Bangun Tani Mandiri di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada tahun 2009.

Di koperasi yang fokus pada pemberdayaan kelompok tani ini, Arif demikian sapaan akrabnya, menggagas pendirian Bank Kotoran Ternak (BKT) sejak April 2011 lalu. Menurutnya, ide ini tercetus lantaran ia prihatin melihat nasib para petani yang terus terbebani oleh kenaikan harga pupuk kimia. Selain itu, pengetahuan soal pengolahan dan pemakaian pupuk organik dari kotoran ternak di kalangan petani juga masih minim.

Bukan itu saja, niat Arif ini makin kuat karena koperasi membeli tabung biogas yang bisa memproduksi pupuk organik dari kotoran ternak di koperasinya. "Setelah melakukan penyuluhan dengan anggota kelompok tani, akhirnya kami membantuk bank (kotoran ternak) ini sebagai wadah pengumpul bahan pembuat pupuk," ujarnya.

Arif ingin BKT tak hanya bermanfaat bagi petani. Ia juga ingin anak-anak petani bisa mendapatkan uang tambahan dengan ikut menyetor kotoran ternak yang kemudian ditukar dengan uang.

Setiap satu kilogram kotoran ternak itu, penyetor akan mendapat Rp 200 dari BKT. "Biasanya mereka akan mengambil uang pada akhir bulan, saat sudah terkumpul banyak," ujar pria yang kini berusia 30 tahun ini.

Sayang, dari sekitar 20 kelompok tani di Kecamatan Tanralili, baru dua kelompok yang aktif menyetor kotoran ternak di BKT. Padahal, jika 18 kelompok tani yang menjadi anggota koperasi, jumlah kotoran ternak akan lebih banyak.

Dengan setoran dua kelompok tani itu, BKT mampu memproduksi hingga empat ton pupuk organik, baik dalam bentuk cair maupun padat.

Untuk pupuk cair, Arif tidak menggunakan bahan baku kotoran dalam bentuk padat. Ia hanya memakai air seni hewan ternak serta air hasil pembersihan kandang hewan ternak.

Adapun untuk satu kilogram pupuk padat, diperlukan 700 gram kotoran kering. Sisanya adalah limbah padi. Semua bahan itu lantas difermentasi menjadi pupuk.

Dengan harga jual ke para petani sekitar Rp 1.000 per kg, Arif bilang, bank baru bisa meraup omzet Rp 4 juta per bulan. Ia pun menegaskan, kalau bank memang bukan mencari keuntungan.

Arif menjelaskan, tujuan BKT adalah membantu para petani yang terjepit harga pupuk yang kian melangit. "Kami bisa menghasilkan pupuk yang dijual dengan harga 300% lebih murah dari pupuk kimia," ujarnya.

Hanya saja, produksi pupuk organik belum bisa mencapai skala komersial karena keterbatasan bahan dan sumber dana manusia. Maklum, sebagian besar proses pembuatan pupuk ini dikerjakan secara manual.

Karena itu, BKT masih fokus pada penjualan pupuk untuk petani di Tanralili. "Saat ini, kami masih menyosialisasikan manfaat bank ini sehingga nanti bisa menarik lebih banyak kelompok tani untuk bergabung," ujar Arif optimistis.

Sebab, Arif yang memiliki cita-cita membangun pertanian di tanah kelahirannya itu ingin BKT benar-benar memberi keuntungan maksimal untuk petani. Arif pun tak pernah berhenti berkampanye tentang berbagai manfaat pupuk organik dan bagaimana membuatnya.

Menurut Arif, hasil penjualan pupuk organik yang ditampung dalam BKT juga akan dibagikan secara merata sesuai kontribusi anggotanya. "Komposisi pembagiannya adalah 70% untuk anggota dan 30% untuk biaya operasional bank ini," tutur lelaki yang menjadi finalis Community Entrepreneurs dari British Council pada 2011 ini.

Untuk mempersiapkan pasar bagi pupuk organiknya, Arif juga rajin memberi penyuluhan pada petani-petani yang berada di luar Kecamatan Tanralili. Alhasil, ketika produksi pupuk sudah makin besar, pasar akan siap menerima pupuk organik dari BKT.

Kini, meski masih dalam porsi mungil, pupuk organik memang telah dijual di luar Tanralili. "Namun, kami menjualnya dengan harga dua kali lipat untuk warga di luar Tanralili. Itu pun, dengan catatan, stok pupuk untuk kebutuhan petani Tanralili harus terpenuhi lebih dulu," jelas Arif.

Ia pun menghitung, jika seluruh kelompok tani yang berjumlah 20 unit di Tanralili ikut serta dalam pembuatan pupuk organik di BKT, maka bisa dihasilkan pupuk organik senilai Rp 92 juta per bulan. "Bayangkan, begitu besar potensi ekonomi dari kotoran yang dianggap tak berguna ini," tandasnya.

Untuk itu, ia berharap usaha pupuk organik ini akan memperoleh dukungan penuh, baik dari kelompok tani maupun pemerintah daerah setempat.

Arif pun percaya, idenya bisa diterapkan pada semua areal pertanian sehingga petani bisa merasakan manfaat yang lebih banyak. "Kami berharap pola seperti ini bisa membantu pola pertanian berkelanjutan serta menumbuhkan kesadaran petani tentang manfaat pupuk organik," imbuhnya,

Pria yang juga kini sedang menyusun rencana pembuatan wisata edukasi bagi para anak sekolah untuk berkunjung ke pabrik beras dan peternakan di Kabupaten Maros ini juga menyatakan, dengan menghasilkan pupuk organik sendiri, petani akan terhindar dari permainan harga pupuk yang selama ini membelenggu mereka.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/79040/Eko-Krisyanto-Kalau-ingin-sukses-jangan-takut-memulai-3

INSPIRASI EKO KRISYANTO

Peluang Usaha

 
Selasa, 04 Oktober 2011 | 13:25  oleh Hafid Fuad
INSPIRASI EKO KRISYANTO
Eko Krisyanto: Kalau ingin sukses jangan takut memulai (3)

Di usianya yang tergolong muda, Eko Krisyanto sudah memiliki empat lini bisnis dengan omzet miliaran rupiah. Dengan prinsip tak pernah takut untuk memulai usaha, membuat Eko gemar buka usaha baru. Lihat saja, usai sukses berbisnis sumpit, kini ia memiliki bisnis jasa interior, bisnis payet, dan bisnis garmen.

Untuk meraih sukses dalam bisnis, syarat paling penting tentu jangan takut memulainya. Prinsip itu pula yang dipegang Eko Krisyanto pemilik Media JB Chopsticks, produsen sumpit di Bandung, Jawa Barat.

Karena prinsip itu pula, Eko pun tak takut memulai usaha baru. Setelah sukses di dunia sumpit, pada 2009, Eko tak segan membuka bisnis baru yang jauh berbeda dari bisnis sumpit, yakni membuka bisnis jasa desain interior.

Bisnis ini dia beri nama Media Jasa Desain. Bisnis jasa mempercantik ruangan itu terinspirasi dari saudaranya yang berprofesi sebagai desainer.

Cukup hanya dua tahun, bisnis jasa desain interiornya itu berkembang pesat. Hingga kini usaha itu mampu mendulang omzet Rp 1 miliar per bulan dengan laba bersih 10%. "Ini berkat adik saya yang memang spesialis sebagai desainer," terang Eko yang mengaku hanya membantu pemasaran saja.

Sukses membuka usaha jasa desain interior, semangat berbisnis Eko semakin membuncah. Kali ini juga bisnis yang berbeda dengan sumpit atau desain interior. Tepatnya pada Januari 2010, Eko membuka jasa pemasangan payet untuk produk garmen.

Saat memulai usaha ini Eko hanya memasang payet saja. Namun belakangan usaha itu berkembang hingga dia bisa memproduksi payet sendiri. "Tapi saya masih terima jasa pemasangan payet," terang Eko. Nah, agar bisnis pemasangan payet ini lancar, Eko menggandeng mitra usaha dari kelompok perajin payet di Bandung.

Pelanggan payet milik Eko datang dari dalam dan luar negeri, Dari dalam negeri, pesanan payet datang dari Jakarta dan Makassar.

Sementara, dari luar negeri pesanan datang dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Rusia. "Rata-rata pesanan payet 10.000 pieces di setiap kota," terang Eko.

Dalam sebulan, dari bisnis payet itu Eko mendulang omzet Rp 700 juta. Sedangkan laba yang berhasil dibawa pulang Eko, rata-rata sebesar 30% dari omzet.

Belum cukup sampai di situ, awal 2011 lalu, Eko kembali bikin gebrakan baru dengan membuka pabrik garmen. Ia memproduksi produk garmen seperti baju kemeja seragam, kaus, dan juga celana denim atau jins.

Pesanan terbanyak produk garmen miliknya itu adalah celana denim yang dipesan khusus oleh eksportir. "Eksportir itu ekspor ke Italia sebanyak 20.000 pieces," terang Eko yang mengaku dapat omzet Rp 500 juta per bulan dari bisnis garmen tersebut.

Selain melayani eksportir, bisnis garmen itu juga melayani kostum untuk keperluan kampanye politisi. Saat ini Eko sedang mempersiapkan pesanan dari salah satu kandidat calon Gubernur Banten.

Walaupun gemar membuka usaha baru, bukan berarti Eko mengabaikan usahanya yang lama. Di sela kesibukan mengurus bisnis itu, Eko tetap melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai brand manager pada sebuah pabrik garmen milik perusahaan orang lain.

Memang berat untuk mengatur bisnis sembari bekerja. Tetapi itulah yang dilakukan oleh Eko. Dia harus pandai-pandai mengatur waktu yang terbatas itu. Apalagi saban hari dia bisa harus mengurus banyak hal, mulai mengurus bisnis sumpit, payet, dan garmen, dia juga bekerja di perusahaan milik orang lain.

Eko juga rutin datang ke Garut untuk melihat produksi sumpit. Selain itu, ia mesti datang ke Bogor guna mencari tambahan pasokan sumpit dari produsen lain.

Di sela kesibukan itu, ia juga menyempatkan diri pulang ke rumah orang tuanya di Ciganjur. "Di kota-kota itu, saya punya rumah dan ruko sehingga tidak bingung untuk menginap," kata Eko yang ternyata gemar berinvestasi di sektor properti itu.

Agar sukses membuka bisnis baru, Eko bilang, membuka usaha dilakukan setelah melakukan analisis pasar. Proses menganalisis bisa dilakukan dengan pengamatan atau wawancara. "Saya butuh tiga bulan untuk menganalisis pasar," terang Eko.

Dalam menganalisis pasar tersebut mesti diketahui siapa pembeli, pesaing, dan mitra usaha. "Tapi hal terpenting adalah bagaimana kita mencari mitra," kata Eko.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/79039/Eko-Krisyanto-Kalau-ingin-sukses-jangan-takut-memulai-3

GREEN BUSINESS PENGOLAHAN LIMBAH PLASTIK JADI RAFIA

 
Senin, 03 Oktober 2011 | 15:41  oleh Handoyo, Fahriyadi
GREEN BUSINESS PENGOLAHAN LIMBAH PLASTIK JADI RAFIA
Mengikat laba dari limbah plastik yang menjadi tali rafia

Plastik adalah salah satu jenis sampah yang lama terurai oleh tanah. Namun, bagi orang yang jeli, sampah plastik yang mencemari lingkungan itu bisa menjadi pundi-pundi rupiah setelah diolah menjadi tali rafia. Selain ramah lingkungan, tali rafia dari sampah plastik itu mendatangkan omzet hampir Rp 500 juta per bulan.

Sebagian besar dari kita tentu tahu dan pernah mempergunakan tali rafia. Bahkan, bisa dibilang, tali rafia adalah tali yang paling sering kita gunakan untuk mengikat saat ini, dibanding dengan tali plastik atau tali tampar yang terbuat dari serabut kelapa.

Karena banyak digunakan itulah, tali rafia jelas punya nilai ekonomis yang tinggi. Namun, kalau kita telisik lebih jauh, tali rafia ini juga tergolong produk ramah lingkungan. Sebab, saat ini di pasaran ada tali rafia yang terbuat dari limbah plastik sisa pabrik atau limbah plastik sisa rumah tangga.

Tak percaya? Lihat saja yang dilakukan Lukas Subagio, pemilik usaha Mangun Wijaya Plastik asal Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak 2002 silam, ia telah mendaur ulang limbah plastik itu untuk dijadikan tali rafia.

Lukas menjual tali rafia dari limbah itu dalam bentuk gelondongan. Biasanya, setelah sampai di tangan distributor, tali rafia dalam gulungan besar itu kemudian dikemas ke bentuk gulungan yang lebih kecil sebelum dilempar ke agen atau ke konsumen. "Mereka menjual kembali tali rafia itu dalam ukuran yang lebih kecil," terang Lukas.

Tali rafia buatan Lukas itu tidak hanya dijual di sekitar Jawa Timur saja. Namun, sebagian besar lainnya telah menggelinding hingga ke Samarinda, Banjarmasin, Makassar, dan sampai Jayapura, Papua.

Namun, sebenarnya Lukas tidak menjual tali rafia dalam bentuk gulungan, namun kiloan. Harga tali rafia itu dibanderol mulai Rp 6.500 per kilogram (kg) hingga 13.500 per kg, tergantung kualitas.

Lukas menjelaskan, tali rafia berkualitas bagus produksinya bercirikan lembut, tipis, namun tetap kuat. "Kualitas menentukan harga jual," terang Lukas.

Sedangkan tali rafia berkualitas sedang biasanya berwarna-warni, tebal, dan tidak mengilat. Adapun tali rafia berkualitas rendah memiliki ciri sama dengan tali rafia kualitas sedang, namun bedanya tali rafia kualitas rendah tidak memiliki variasi warna.

Karena berbahan baku dari limbah plastik, jelas Lukas, ia tak pernah kesulitan bahan baku. Ia secara rutin mendapat pasokan limbah plastik dari pengepul plastik bekas dari Surabaya.

Dari tangan pengepul, Lukas membeli limbah plastik itu seharga Rp 2.300–Rp 4.000 per kg, tergantung dari jenis plastik.

Menurut Lukas, plastik bekas terbaik untuk bahan baku tali rafia itu adalah limbah gelas plastik. Adapun limbah plastik kerupuk, plastik kapas, atau plastik bekas karung beras kualitasnya berada di bawah limbah plastik gelas.

Namun, Lukas ogah membeli limbah plastik yang dipulung dari tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Ia bilang, limbah plastik asal TPA memiliki aroma yang menyengat yang bisa mempengaruhi kualitas tali rafia.

Dalam memproduksi tali rafia dari limbah plastik itu, setidaknya butuh beberapa tahapan. Tahapan penting adalah pembuatan biji plastik dari campuran limbah plastik dengan polietilena (PE). Setelah itu baru tahapan pemanasan dengan oven kemudian proses cetak dengan mesin.

Lukas saat ini mampu memproduksi 2.400 kg tali rafia per hari. Seluruh produksi ia salurkan ke distributor dan agen. Dengan patokan harga Rp 6.500 per kg, Lukas setidaknya mengantongi omzet Rp 15,6 juta per hari atau Rp 468 juta per bulan.

Menurut Lukas, bisnis tali rafia tidak hanya menguntungkan dirinya saja, tetapi juga kepada pengepul limbah plastik, juga distributor, dan pedagang tali rafia. "Termasuk keuntungan untuk lingkungan," terang Lukas.­ Ia memberi contoh, seorang agen tali rafia saja bisa mendapatkan laba Rp 1.000 dari penjualan satu kilogram tali rafia.

Pelaku bisnis lain yang mengolah limbah plastik menjadi tali rafia adalah Putranto, pemilik CV Dian Selaras di Tangerang, Banten. Sejak 2010 lalu, Putranto melihat adanya peluang bisnis tali rafia berbahan limbah plastik itu.

Dengan mengusung merek Cap Gajah, laki-laki yang kerap disapa Anton itu memiliki dua mesin produksi tali rafia masing-masing berkapasitas produksi sebanyak 6.000 kg per bulan. Sebagian besar produk tali rafia itu dijual Anton di Jakarta dan sebagian lainnya di Jawa. "Distribusi masih terbatas," kata pria berusia 30 tahun itu.

Sama dengan Lukas, Anton juga tidak mengalami kesulitan untuk mencari bahan baku limbah plastik. Ia mendapatkan limbah plastik dari pengumpul limbah plastik di Tangerang. "Kesulitan ada pada kualitas limbah plastik yang ada di bawah kebutuhan standar," katanya.

Namun begitu, ia berusaha untuk memaksimalkan sampah plastik yang berada di bawah kualitas standar itu. Dari kapasitas produksi 12.000 kg, Anton baru bisa produksi sebanyak 2.400 kg per bulan. "Pasar saya masih terbatas," terang Anton.

Soal harga, Anton menjual tali rafia itu seharga Rp 8.500 per kg. Dalam sebulan Anton merengkuh omzet Rp 20 juta per bulan. "Margin keuntungan dari usaha ini cukup menarik, bisa 30% dari omzet," ungkap Anton.

Sayang, Anton tidak bisa maksimal menjalankan bisnis karena jenis produknya masih sedikit. Namun, belakangan ini, ia sedang mempersiapkan jenis tali plastik spesifik untuk menjangkau segmen pasar tertentu. "Saya masih mempersiapkannya, karena tidak mudah untuk bersaing di Jakarta," kata pria yang juga karyawan di salah satu perusahaan swasta itu.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78936/Mengikat-laba-dari-limbah-plastik-yang-menjadi-tali-rafia-

Sabtu, 01 Oktober 2011

Mengurai Peliknya Penghambat Kemajuan Inovasi Bangsa

Views :248 Times PDF Cetak E-mail
Jumat, 30 September 2011 09:31
SAM_0486CE News, Serpong - Apa syaratnya agar sebuah perusahaan bisa tumbuh hingga ratusan tahun? Menurut Dr. Boenjamin Setiawan, Ph. D. , kita bisa menemukan jawabannya dari sebuah pohon. Sebuah pohon meski usianya sudah tua, ia masih bisa terus bertahan hidup asal ia terus tumbuh. Begitu juga dengan sebuah bisnis jika ingin terus bertahan, ia harus bisa terus tumbuh dengan inovasi-inovasi baru. Yang tak kalah penting juga untuk apa semua usaha untuk tumbuh tersebut ditujukan. Sebuah bisnis yang langgeng mampu memberikan kontribusi pada pemangku kepentingan atau stakeholder, yang meliputi karyawan, pemegang saham, pendiri, masyarakat sekitar. Untuk bisa tumbuh terus, SDM dan IPTEK mutlak diperlukan. “Yang paling penting manusia!” serunya.

Paparan menarik Boenjamin, seorang senior advisor “Stem Cell and Cancer Institute”, ini disampaikan dalam sesi seminar siang “Inovasi: Kunci Keberhasilan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat” di BIC Forum 2011 Kamis kemarin (29/9/2011). Ia juga memaparkan resep jitu dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul: DJITU. Akronim ini ia jabarkan menjadi: Disiplin dan Dedikasi, Jujur dan Jeli, Inovasi dan Insiatif, Tekun, Ulet dan Unggul.

Boenjamin berseloroh saat membahas aspek jujur. “Inilah penyakit utama di Indonesia”, katanya dengan lantang. Di Jepang, kata ilmuwan ini, saat tsunami tidak ada penjarahan yang terjadi karena mereka jujur, mereka menunggu toko-toko membagikan makanannya. Bahkan kultur ini tidak dijumpai di Eropa, seperti Inggris yang baru saja dilanda kerusuhan.

Boenjamin yang terlihat masih enerjik meski usianya sudah senja itu mengatakan innovation index kita turun terus dan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Korea dan Taiwan perlu kita amati. Setelah merdeka mereka memiliki master plan pembangunan yang secara konsisten mereka wujudkan. Dalam hal inilah bangsa Indonesia harus belajar. Konsistensi terutama dalam hal kebijakan belum ada sehingga tiap berganti pemerintahan, berganti pula kebijakan yang diterapkan. Akibatnya seperti yang kita rasakan sekarang, tidak ada kesinambungan antara satu kebijakan dengan kebijakan sebelumnya.

Selain Boenjamin, beberapa orang pembicara hadir di panggung mewakili setiap unsur dalam ABG (Academy, Business, Government). Diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Avanti Fontana ini dimaksudkan sebagai ajang curhat dari berbagai komponen yang terlibat dalam inovasi bangsa. Kalangan akademisi diwakili oleh Boenjamin, pebisnis oleh Suryatin Setiawan, dan pemerintah oleh  Dr. Ir. Aswin S. S. M. Sc. dari Kemenkominfo dan Edy Putra Irawady dari Kemenko Perekonomian.

Lebih lanjut, Boenjamin juga mengajak kepedulian semua pihak untuk lebih mencurahkan dana dalam penelitian dan pengembangan, jika memang ingin menjadi sebuah bangsa yang maju. Alokasi dana penelitian di Indonesia menurutnya masih amat rendah (sekitar US $ 100 juta atau hanya 0,12% dari GDP). Ini sebuah tamparan keras saat dibandingkan dengan AS yang membelanjakan 400 miliar dollar untuk R and D (research and development). Persentase dana litbang Indonesia juga kalah dibandingkan Jepang, Jerman, Korsel, bahkan India yang notabene juga masih negara berkembang. (*Akhlis)

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/berita/berita-ce/11577-mengurai-peliknya-penghambat-kemajuan-inovasi-bangsa.html

Jumat, 30 September 2011

INSPIRASI AHMAD NURIL WAHYUDIN


Peluang Usaha




 
Rabu, 28 September 2011 | 12:54  oleh Ragil Nugroho
INSPIRASI AHMAD NURIL WAHYUDIN
Nuril jadi juragan tas yang terinspirasi katak (1)
Keinginan membantu sesama membuat Ahmad Nuril Wahyudin bersemangat menjadi pengusaha. Produsen merek tas Amphibi dan Reptile itu bahkan bisa menembus pasar ekspor ke mancanegara. Selain menyediakan lapangan kerja bagi warganya, Nuril berbahagia bisa mendulang omzet lebih dari Rp 150 juta per bulan.

Bagi Ahmad Nuril Wahyudin menjadi pengusaha adalah tujuan hidup. Produsen tas merek Amphibi dan Reptile yang sukses menembus pasar ekspor ke Amerika Serikat (AS) dan juga Belanda ini memilih menjadi pengusaha karena ingin memberdayakan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Lamongan, Jawa Timur.

Walau terdengar idealis, tetapi begitulah kenyataannya. Menurut Nuril, demikian dia akrab disapa, agar dipercaya bisa membantu warga di sekitarnya, dia harus membuktikan lebih dulu bahwa dia mampu meraih sukses.

Dari situlah, pria kelahiran Lamongan, 3 Oktober 1967, ini mulai merintis usaha pembuatan tas secara mandiri pada 2001 lalu di Jakarta. Produk pertama tasnya itu dia beri merek Amphibi.

Nama Amphibi ditemukan Nuril tanpa sengaja. Suatu waktu ia bertemu tulang belulang katak mati yang menurutnya menarik dan unik. "Entah kenapa saya tertarik lihat susunan tulang katak," kenang Nuril.

Karena tulang katak itu memiliki susunan rapi dan unik, Nurul bergegas membuat sketsa tulang katak itu pada secarik kertas. Dari situlah Nuril mendapatkan ide untuk memberi merek dan logo Amphibi pada produk tasnya.

Bagi Nuril, binatang amfibi itu tidak sekadar merek. Namun juga memberi pesan filosofis bahwa katak punya kemampuan melompat yang jauh. Nurul berharap bisnisnya bakal seperti lompatan katak, menembus jauh ke depan.

Namun, sebenarnya, tas merek Amphibi tak benar-benar melompat jauh. Menurut Nuril, produk tasnya memang laku di pasaran, tapi belum menghasilkan keuntungan seperti yang dia harapkan. "Empat tahun lamanya saya menggarap tas Amphibi ini," ujar Nuril.

Sebagai pengusaha tentu pantang bagi Nuril untuk berputus asa. Dia malah mengembangkan produk tas baru yang dia beri merek Reptile sebagai personifikasi dari ular.

Nuril bilang, ular punya daya tahan hidup yang tinggi. "Karena itu, meski butuh waktu, yang penting tujuan tercapai," terang bos CV Vision Process ini.

Ternyata di merek Reptile inilah Nuril ketemu keberuntungan. Omzet penjualan tas Nuril pun merangkak naik dengan pasti. Bahkan, setelah meluncurkan tas Reptile ini, dia dengan mudah meraih omzet lebih Rp 150 juta per bulan. Selain menembus pasar ekspor, tas bikinan Nuril juga dipasarkan lewat outlet peralatan outdoor. "Termasuk di sekolahan seperti British International School," terang Nuril.

Kini Nuril sudah mampu mempekerjakan delapan karyawan. Bersama mereka ini, dia mampu memproduksi 1.600 tas per bulan. Sekitar 600–700 tas di antaranya adalah tas laptop yang digemari mahasiswa dan karyawan kantoran.

Harga jual tas Nuril itu mulai Rp 95.000 hingga Rp 650.000 per buah. Agar penjualan bisa kinclong, Nuril terkadang ikut tender pengadaan tas di kelembagaan pemerintah atau swasta. "Agustus lalu kami dapat proyek tas Rp 300 juta," kata pria sederhana ini.

Nuril bilang, selain memiliki desain menarik, jahitan tas bikinannya juga halus dan tidak mudah rusak. Sehingga, tas produksi Nuril pernah digunakan dalam kegiatan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam menjalankan usaha, Nuril mengaku tidak ingin berniat mengejar keuntungan semata. Ia bahkan memiliki prinsip berbisnis untuk menambah modal usaha agar lebih besar lagi. "Untuk mencari modal itu butuh kerja keras," katanya.

Selain kerja keras, Nuril mengaku menjalani bisnis dengan kesabaran. Mulai dari sabar untuk menjualkan tas, sabar menunggu pesanan, ataupun sabar dalam menunggu produksi.

Ia bilang, kesabaran ibarat tiang penyangga dalam membangun usaha. "Banyak orang punya modal besar tapi usahanya tak terwujud karena tidak sabar," kata Nuril.

Setelah sukses seperti sekarang, Nuril pun mulai berani menghidupkan cita-citanya untuk membuka peluang kerja bagi orang lain. Keuntungan dari bisnis itu menurut Nuril bukan untuk tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk karyawan dan anak-anak yang putus sekolah.
Kamis, 29 September 2011 | 13:09  oleh Ragil Nugroho
INSPIRASI AHMAD NURIL WAHYUDIN
Nuril jual replika lukisan untuk modal usaha (2)

Sebelum menjadi juragan tas merek Amphibi dan Reptile, Nuril Wahyudin adalah pelukis. Karena ingin membuka lapangan kerja, Nuril mendirikan usaha pembuatan tas secara patungan bersama seorang temannya. Namun, di tengah jalan usaha itu pecah kongsi. Alhasil, Nuril pun bikin usaha secara mandiri.

Nuril memang lahir dari keluarga pengusaha yang agamis di Lamongan, Jawa Timur. Namun, bakat Nuril yang sudah menonjol sejak kecil adalah bakat melukisnya. Bahkan, ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), Nuril beberapa kali jadi juara lomba melukis baik tingkat daerah maupun tingkat nasional. "Bakat melukis saya dari ayah, sedangkan dari ibu, saya mewarisi kemampuan beliau sebagai pengusaha," terang Nuril.

Usai menamatkan sekolah menengah atas (SMA), sesuai tradisi keagamaan di lingkungannya, Nuril juga melanjutkan pendidikan agama ke Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 1985. Dia menamatkan pendidikan agama di Gontor ini empat tahun kemudian.

Namun, meski sekolah agama, Nuril tak pernah lupa melukis, tapi saat itu dia lebih banyak melukis kaligrafi. Bahkan ia menjadi perintis Asosiasi Kaligrafi Darussalam (AKLAM) di Gontor, yang para lulusannya banyak menghasilkan karya kaligrafi.

Lukisan Nuril pun sudah mempunyai nilai komersial. Dia mengenang, sebuah lukisan pemandangan hasil sapuan kuasnya laku Rp 40.000. Nilai segitu sungguh sangat besar pada 1989 silam. "Duitnya saya berikan ke ibu yang ketika itu usahanya lagi jatuh," kenang Nuril.

Usai tamat dari Gontor, Nuril tak ingin jadi ustad. Dia masih memilih jalur seniman untuk menapak hidupnya. Setelah menetap di Jakarta pada 1990, Nuril mulai menjual karya lukisannya. Saat itu harga lukisan yang paling mahal Rp 7 juta. "Lukisannya tentang matahari terbenam," kenangnya.

Bisa dibilang Nuril lumayan sukses sebagai seniman. Bahkan, dari berjualan lukisan itu dia punya cukup tabungan untuk masa depannya. Namun, di relung hati Nuril, dia masih merasakan adanya kekosongan batin bahwa menjadi pelukis dia tidak optimal membantu sesamanya, terutama dalam soal pekerjaan. Itulah sebabnya, ketika beberapa temannya mengajaknya bisnis pembuatan tas, dengan serta-merta Nuril mengangguk setuju.

Karena memiliki kemampuan desain serta manajemen yang baik, ia pun menjadi tulang punggung usaha bersama tersebut. Untuk tenaga kerjanya, Nuril mencari anak-anak putus sekolah dari berbagai daerah.

Namun usaha patungan itu tidak berlangsung lama karena terjadi perbedaan pandangan. "Intinya terjadi konflik dan mereka ingin saya mundur," ujarnya.

Meski kecewa karena merasa disingkirkan oleh sekondannya, Nuril tidak menaruh dendam. "Bahkan semua aset usaha yang sudah saya rintis saya relakan," kenangnya.

Nuril tidak berputus asa. Dia pun menyiapkan strategi baru untuk membuka usaha sendiri. Lagi pula ia sudah memiliki banyak koneksi.

Sebagai modal awal, ia pun menjual salah satu replika lukisan seharga Rp 14 juta. Dan pada 2001, ia pun memulai usaha dari nol. Bersama para pekerja dari berbagai pelosok daerah, ia dengan penuh semangat memasarkan produk tasnya itu ke para koleganya.

Karena memang sudah dikenal banyak kalangan, ia pun tidak kesulitan memasarkan produk tas Amphibinya. Dalam waktu relatif singkat, ia bisa menyaingi pemasaran usaha rekan-rekannya yang lama.

Di saat sedang menikmati keberhasilannya membangun usaha sendiri, musibah kembali datang. Galeri lukisannya di Kemang, Jakarta Selatan, hangus terbakar pada 16 Desember 2002. Nuril menaksir kerugian mencapai miliaran rupiah. "Namanya manusia biasa tentu saya kecewa," ujarnya.

Namun, Nuril tak mau berlama-lama bersedih. Ia harus kembali bangkit, apalagi mengingat banyak anak-anak putus sekolah yang menggantungkan harapan padanya.

Dengan modal semangat pantang menyerah, Nuril tetap menjalankan usaha tasnya. Bahkan ia mengaku usaha tasnya berkembang semakin pesat pascakebakaran itu. "Rezeki manusia memang sudah diatur," ujarnya.

Pada 2005, Nuril membuat satu merek tas lagi, yakni Reptile. Kedua merek tas Nuril pun sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1317189267/78535/Nuril-jadi-juragan-tas-yang-terinspirasi-katak-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78658/Nuril-jual-replika-lukisan-untuk-modal-usaha-2

Kamis, 29 September 2011

Entrepreneur Itu Kreatif dan Pantang Menyerah!

Entrepreneur Itu Kreatif dan Pantang Menyerah! Views :1141 Times PDF Cetak E-mail
Rabu, 28 September 2011 13:32
ciputraTopik menarik ini saya kemukakan di Twitter tadi malam (27/ 8). Saya teringat pernah ditanya oleh seorang ibu dalam seminar entrepreneurship di mana saya menjadi pembicara utamanya, "Pak Ciputra, bagaimana kurikulum entrepreneurship di pendidikan dini ke sekolah menengah, sudah dibuatkah? Atau sudah dibuat di Universitas Ciputra?" Demikian pertanyaannya yang dipenuhi antusiasme.

Saya menjawabnya dengan bersemangat. Untuk jenjang SD-SMA, kami sudah memiliki 2 orang konsultan. Sehingga sembari mereka menerapkannya mereka bisa mengajarkannya kepada yang lain sehingga biaya yang dikeluarkan akan kembali. Tapi harus diingat bahwa itu bukan cuma-cuma tetapi adalah biaya dari perusahaan. Dengan menjadi konsultan, mereka juga membantu orang lain untuk sebarkan entrepreneurship. Untuk jenjang universitas, semester 1 hingga 3 sudah ada kurikulum entrepreneurshipnya.

Mengenai bagaimana pembuatan kurikulum entrepreneurship, perlu diketahui bahwa saat kami pertama kali mengajarkan entrepreneurship dalam pelatihan, hanya separuh yang sudah direncanakan dengan baik sebelumnya. Lalu bagaimana dengan sisanya? Sisanya harus kami ciptakan sendiri saat terjun di lapangan. Selama bulan pertama penyelenggaraan pelatihan entrepreneurship, kami ajarkan pada peserta etika bisnis, dasar-dasar berbisnis, integritas, motivasi. Semua itu agar mindset mereka berubah. Akan tetapi itu semua hanya dasar. Di bulan kedua, para peserta pelatihan kami diwajibkan membuat proyek bersama. Dan akhirnya di bulan ketiga semua peserta harus mampu membuat proyek sendiri-sendiri.

Apakah ada panduan / literatur sebelumnya tentang itu? Tidak ada! Kami mencoba untuk melakukannya, menciptakannya sendiri dengan akal dan kreativitas kami. Itu semua karena kami bermental entrepreneur! Kalau sudah dilakukan, tetapi masih ada kesalahan bisa diperbaiki bukan? Dan inilah letaknya kreativitas, yang menjadi sisi kuat seorang entrepreneur. Seorang entrepreneur harusnya jangan sampai berhenti karena tidak ada panduan sebelumnya. Kreatif, kreatif, kreatif!

Kekayaan alam kita (Indonesia) memang banyak tapi suatu saat nanti akan habis. Maka dari itu, kita dan Anda semua harus mulai menggali kreativitas. Lihat saja Singapura, mereka itu bisa bertahan dengan kreativitas, padahal kekayaan alamnya hampir nol. Sementara Cina unggul dengan industri manufacturing, India dengan otak/ software meski ada juga unsur manufacturing.

Pesan saya yaitu janganlah terus menerus andalkan sumber daya alam yang bisa habis. Bangkitlah dengan kreativitas dan daya cipta. Dan saat kita ingin menuju tahapan yang lebih baik tetapi belum tahu caranya, curahkan pikiran kita, jangan berhenti begitu saja. Salam entrepreneur!

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/ciputra-notes-inspirasi/11522-entrepreneur-itu-kreatif-dan-pantang-menyerah.html

Minggu, 25 September 2011

Penjual Es Keliling yang Sukses Membangun Bimbel

PDF Cetak E-mail
Sabtu, 24 September 2011 12:10
Hidup tidak selamanya berjalan mulus, dan kesuksesan harus diperoleh dengan perjuangan. Banyak kisah sukses diawali dengan jatuh bangun, seperti kisah sukses Muh Yusuf Ismail, Direktur Utama PT Gadjahmada Indonesia.

MUH_YUSUF_ISMAILMasa kecil Yusuf tidak terlalu menyenangkan, dia harus membantu orang tuanya, Ismail Daeng Meleng dan Hj Hafsah. Ayahnya adalah seorang pedagang kaki lima yang berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya. Bakat bisnis ayahnya turut diwarisi Yusuf. Kelas satu Sekolah Dasar, Yusuf menjual es keliling membantu dagangan ibunya. Yusuf mengaku tidak merasa malu dengan teman-temannya pada saat itu, mengingat kondisi hidup mereka yang memang serba pas-pasan. "Bahkan saya merasa bangga dengan apa yang saya kerjakan," ujarnya.

Duduk di bangku kelas tiga SD, Yusuf juga membantu kakaknya, H Abd Karim berjualan buku dengan menggunakan gerobak keliling. Pada saat itulah, dia benar-benar merasakan spirit bisnis mengalir dalam dirinya. Karena dekat dengan buku pulalah, sehingga Yusuf kemudian menjadi seorang "kutu buku".

Dia mengoleksi ratusan buku dari berbagai penulis terkenal. Hingga sekarang ini, dia mengaku masih keranjingan membaca buku, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan diri dan manajemen.

Berkarier di dunia pendidikan, memang sudah menjadi pilihan Yusuf. Ayah satu anak ini, pernah labil untuk menentukan langkah, namun, akhirnya dia sadar bahwa Lembaga Bimbingan Belajar Gadjahmada sudah menjadi bagian hidupnya yang harus dia besarkan. Di sini, dia kemudian bisa sukses dan mendirikan cabang di beberapa daerah.

Yusuf melihat, banyak orang yang ingin mencapai kesuksesan dengan cara instan. Mereka enggan meraih kesuksesan itu dengan kerja keras. Kondisi ini sering membuat Yusuf prihatin, hingga kemudian melalui LBB Gadjahmada yang dia didirikan, dia banyak memotivasi karyawan-karyawannya yang sebagian besar mahasiswa untuk tidak cepat puas.

Suami Fitria Syahid ini, senantiasa berbagi spirit wirausaha dengan generasi-generasi muda yang sedang merangkak mencapai kesuksesan. Pilihannya untuk bergelut dalam dunia pendidikan, tidaklah lahir begitu saja, namun memiliki catatan proses yang panjang ketika Yusuf baru duduk di bangku kelas dua SMA Negeri 5 Makassar.

Ia merasakan gairah dan bersemangat ketika bisa mentransfer ilmunya kepada orang lain. Pada saat duduk di SMAN 5, Yusuf sering mengajar privat bahasa Inggris. Bahkan, terkadang dia rela mengajar di sekolah-sekolah terpencil, seperti di daerah Sidenreng Rappang.

Pada saat semester dua di Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Yusuf kemudian bergabung menjadi tentor di salah satu lembaga bimbingan belajar. Selain memuaskan hobinya untuk mengajar, dia juga memperoleh tambahan biaya untuk kuliahnya, bahkan, dia sempat menyisihkan untuk ibunya.

Delapan tahun dia bergelut di lembaga bimbingan belajar tersebut. Sebuah pekerjaan tentunya memiliki konsekuensi, dan konsekuensi yang dialami Yusuf, dia agak terlambat menyelesaikan kuliahnya, sembilan tahun. Setahun setelah menyelesaikan kuliahnya, tepatnya pada 1998, Yusuf bersama empat temannya mendirikan Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) Gadjahmada.

Modal awal pendirian LBB Gadjahmada adalah pinjaman dari paman seorang teman Yusuf, termasuk gedung dan semua kelengkapan belajar mengajarnya. "Kami benar-benar tak memiliki modal sedikitpun, selain keyakinan dan kepercayaan diri," ujarnya.

Awal pendirian lembaga bimbel ini, dirasakan Yusuf dan rekan-rekannya sebagai masa-masa yang sulit. Terkadang kata Yusuf, gaji karyawan dan tentor tertunda selama tiga bulan. Perlatan belajar mengajar juga terbatas, apalagi jika harus melakukan try out ke luar daerah. Menghadapi kondisi tersebut, Yusuf tetap berikrar untuk membayar gaji karyawannya tepat waktu setiap tanggal satu. "Alhamdulillah, komitmen itu selalu saya tepati," lanjutnya.

Pada 2000, semua temannya hengkang dari LBB Gadjahmada, sehingga tinggal dia sendiri. Yusuf tetap bertahan karena kecintaanya dengan dunia ajar mengajar. Dia melewati masa-masa sulit dengan segala keterbatasan. Pernah dia jenuh dan nyambi sebagai supervisor di sebuah perusahaan percetakan. Namun, akhirnya kemudian dia sadar bahwa dirinya harus fokus di lembaga bimbel yang dia dirikan dengan susah payah.

Tahun 2006 merupakan masa titik balik, usahanya berkembang dan Yusuf akhirnya memutuskan keluar dari perusahaan percetakan dan dia fokus pada lembaganya. LBB Gadjahmada pun kemudian berkembang dan mulai dibanjiri peminat. Kini, Yusuf sudah mendirikan 14 cabang, 9 di Makassar dan lima di daerah. (*/Fajar)

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/kuliner/11381-penjual-es-keliling-yang-sukses-membangun-bimbel.html

Jumat, 23 September 2011

Kisah Sukses Edward Forrer Berbisnis Sepatu

PDF Cetak E-mail
Jumat, 23 September 2011 13:41
Di antara para produsen sepatu domestik yang dikenal, ada nama Edward Forrer. Berangkat dari usaha yang dijual door-to-door, kini Edward menjadi salah satu produsen sepatu dalam negeri yang namanya populer hingga mancangara.     

edward_0911Sekilas namanya memang bukan orang pribumi. Edo –panggilan Edward Forrer—memang tidak banyak dikenal kalau dibandingkan dengan brand produk sepatunya yang kini dikenal di mancanegara.

Edo memang menjual merek Edward Forrer yang tak lain adalah namanya sendiri. Persisnya merek produk sepatu dan tas untuk pria dan wanita.

Mengawali bisnis sepatu ini sejak 1989, Edo mulai merambah pasar negeri tetangga seperti Australia pada tahun 2003. Tiga tahun kemudian (26 November 2006) masuk ke Malaysia. Untuk menangani pasar internasional itu pula, sebuah kantor cabang dibuka di Kuala Lumpur.

Namun sebelum melanglang ke mancanegara, produk ini sudah menyebar ke kota-kota besar di Indonesia. Edward kini memiliki paling sedikit 47 gerai di sejumlah kota di Indonesia.

“Saya memulai usaha ini memulai segalanya dengan modal tekad, plus sebuah mesin jahit pinjaman serta sepeda kayuh,” ujar Edo.

Ia terus mengibarkan semangat, terlebih ia menjadi tulang punggung keluarga yang harus membiayai tiga adik. "Saya harus berhasil karena Ibu dan adik-adik menjadi tanggung jawab saya. Saya melakukan pekerjaan apa saja demi menyambung hidup,"  ujar pria kelahiran 25 Oktober 1966 ini.

Jangan bayangkan Edo berangkat dari keluarga berada. Kehidupannya jauh dari cukup. Edo bercerita ia amat trenyuh pada suatu malam, adiknya terbangun dari tidur, karena seharian mereka belum makan, ibunya hanya bisa menyuruh adiknya minum. Tapi beruntung saat itu ada tetangga Edo yang datang membawa beras dan telor. Akhirnya tengah malam Edo dan keluarganya bisa makan. Kondisi serba kekurangan inilah, Edo tergerak menyelesaikan SMA-nya dan langsung kerja di pabrik sepatu di bagian gudang.

Mula-mula Edo muda bergabung dengan sebuah perusahaan sepatu. Di tempatnya bekerjanya inilah, Edo menimba pengalaman dan keahlian membuat sepatu.

Edo yang punya hobi menggambar berusaha mendisain sepatu dan diajukan ke kantornya, tapi ditolak. Sejak itu, Edo berusaha keras untuk bisa membuat sepatu sendiri dari disainnya. Mulai dari membuat pola dan menjahit. Tentu saja sulit sekali, karena harus belajar sendiri. Tapi setelah bisa, Edo mengundurkan diri.

Pada pertengahan September 1989, Edo keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dan memberanikan diri merintis bisnis sendiri. Ia nekat keluar dari perusahaan sepatu yang selama bertahun-tahun menjadi tempat menggantungkan hidup.

Dengan modal sebuah mesin jahit pinjaman, Edo memulai usahanya. Ia berkeliling mengayuh sepeda, dari pintu ke pintu, menawarkan jasa membuat sepatu. Di tas gendongnya selalu tersedia beberapa contoh sepatu. Konsumen dapat memesan sepatu sesuai contoh atau menurut selera konsumen sendiri.

Edo sendiri memiliki memiliki kemampuan menggambar yang memungkinkannya mampu membuat sketsa sepatu langsung di hadapan pemesan. Semua sepatu yang dihasilkannya diberi label sesuai namanya: Edward Forrer.

Karena dijual dengan cara yang dianggap ‘aneh’, tak jarang Edo sering mendapat cemoohan daripada order. Perlakuan buruk pun sering diterimanya.  Bahkan ia menceritakan dirinya sempat diusir karena dicurigai hendak berbuat jahat. Diusir dengan tidak sopan dan kata-kata kasar sudah jadi santapan. Sebagai manusia Edo juga punya batas kesabaran. “Saya sempat merasa putus asa,” ujarnya.   

Namun ia mencoba tegar kembali. Sambil membuat sepatu, Edo berusaha bertahan dengan memberikan les matematika dan renang. Namun dari kegiatannya inilah Edo justru semakin dikenal melalui sepatunya.

Dari para orangtua murid yang diberi les, Edo mulai menerima pesanan. Perlahan langganannya bertambah. Seminggu, Edo menerima lima order sepatu. Ia menangani sendiri seluruh lini usahanya, dari membeli bahan kulit, membuat pola, menjahit, menempel sol, hingga mengantarkannya ke pemesan. Dari para pemesan, produk Edo mulai menyebar. Dari hanya lima order seminggu, Edo mulai menerima lima pesanan sehari.

Ia pun mencari tenaga tambahan. Pada Agustus 1992, Edo mulai membuka toko kecil di Gang Saad, Kota Bandung. Ia mempekerjakan 16 perajin sepatu dan dua pegawai toko. Konsumen tak perlu lagi memesan karena Edward Forrer, begitu Edo menamai tokonya, menyediakan beragam sepatu pria dan wanita. Meski stok tersedia, Edo tetap menerima pesanan.  Dari sini ia mengetahui model sepatu yang digemari masyarakat. Model itu lantas dikembangkan untuk desain produknya.

Dalam beberapa tahun, produk sepatu bikinan Edo semakin dikenal. Buktinya banyak wisatawan, baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berkunjung ke Bandung, bila ingin berbelanja sepatu, selalu menyempatkan mampir ke gerai Edo.

Pada saat krisis moneter datang tahun 1997, bisnis sepatu buatan Edo justru tidak terimbas malah sebaliknya, semakin melambung. Ini lantaran Edo telah memiliki stok bahan baku untuk beberapa tahun.

Berbeda dari para kompetitornya yang terpaksa menyesuaikan harga, Edo malah bertahan dengan harga lama. Harga jual produk Edo saat itu antara Rp 100.000 dan Rp 400.000.

Di saat-saat itu, penjualan Edward Forrer pun melesat. Edo sampai membuka tiga gerai baru khusus di Bandung demi memenuhi permintaan konsumen.

Tahun-tahun berikutnya menjadi masa kejayaan Edward Forrer. Pada 2003, Edward Forrer beralih dari perusahaan perorangan menjadi perseroan terbatas. Hasilnya, pada semester pertama tahun 2003, Edward Forrer telah memiliki 16 gerai. Tujuh di antaranya berada di Bandung dan dua gerai di Bali. Sisanya menyebar di Jakarta, Jogjakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Malang.

Tepat, 17 Agustus 2003, pertama kali Edward Forrer membuka gerai di luar negeri. Tepatnya di 333 George Street, Sydney, Australia. Dua tahun kemudian, pada awal 2005, Edward Forrer mulai membuka sistem waralaba. Dengan model bisnis seperti ini, gerai Edward Forrer pun bertambah kian cepat. Termasuk membuka kantor di Kuala Lumpur, tahun 2006. Hingga saat ini, Edo sudah memperkerjakan sekitar 200 karyawan.

Edo memiliki pandangan, seorang wiraswastawan sejati akan selalu tegar, meski jalan menuju sukses tak selalu mulus. “Jika pembeli sudah kenal dengan produk yang dijual, bukan berarti kerja keras berakhir. Meski jalan usaha sudah terbuka dengan adanya pesanan, rintangan yang dihadapi masih besar,” ujarnya. Persoalan apapun yang dihadapi dalam berbisnis akan bisa diatasi dengan keyakinan, kreativitas, dan keuletan. (*/dari berbagai sumber)

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/11366-kisah-sukses-edward-forrer-berbisnis-sepatu.html

Rabu, 21 September 2011

INSPIRASI ASIWA

Peluang Usaha

INSPIRASI

Selasa, 20 September 2011 | 13:55  oleh Fransiska Firlana
INSPIRASI ASIWA
Asiwa sukses usai jemput pelanggan ke stasiun (1)
Persaingan pedagang batik yang kian sengit membuat Asiwa, pemilik Batik Jaya Abadi di Cirebon, Jawa Barat, harus kreatif dalam berjualan. Caranya, dengan menyediakan sarana jemput pelangggan di stasiun Cirebon. Cara ini terbukti efektif. Kini, Asiwa mampu menangguk omzet hingga Rp 100 juta per bulan.

Berfikir kreatif ternyata penting dalam membangun usaha secara mandiri. Seperti yang dilakukan oleh Asiwa, pemilik perusahaan batik khas Cirebon bernama Jaya Abadi di kota Cirebon, Jawa Barat.

Asiwa sejak tiga tahun lalu menggalang ide memasarkan aneka produk batik dengan cara yang relatif berbeda dari pengusaha batik lainnya. Ia memasarkan batik dengan sistem jemput bola ke konsumen.

Caranya dengan memberikan layanan antar-jemput konsumen secara gratis ke stasiun kereta api Cirebon. Tidak hanya jasa antar-jemput ke stasiun saja yang ia berikan kepada konsumen. Asiwa terkadang menjamu konsumennya dengan makanan khas Cirebon seperti empal genthong atau bothok.

Berkat layanan antar-jemput ke stasiun itulah usaha jualan batik Asiwa berbuah manis. Banyak pelanggan senang belanja batik di tempat Asiwa karena merasa nyaman, aman, dan mudah. Alhasil, banyak pelanggan Asiwa rutin berkunjung ke toko milik Asiwa.

Sejatinya, Asiwa sudah membuka toko batik sejak lima tahun yang lalu di kawasan Trusmi, Cirebon. Selama dua tahun ia berjualan batik secara konvensional: menunggu konsumen datang dan membeli.

Ketika itu, di Trusmi baru ada lima pedagang batik. Namun, menurut cerita Asiwa, setelah dua tahun dia berjualan di situ, jumlah pedagang kian bertambah hingga berjumlah puluhan.

Bertambahnya jumlah pedagang batik itu tak lepas dari kian populernya batik cirebon belakangan ini. Maklum, ciri khas batik cirebon berbeda dengan batik solo maupun batik pekalongan.

Salah satu motif terkenal batik cirebon adalah motif mega mendung yang memadukan warna-warna lembut dan warna cerah. Motif ini banyak dicari konsumen dari luar daerah Cirebon.

Karena peminat batik cirebon kian banyak, para pedagang batik di Trusmi pun ikut menikmati hasilnya. Namun, dampaknya jumlah pedagang juga semakin banyak. "Jumlah pedagang makin menjamur,” ungkap Asiwa.

Akibat jumlah pedagang yang kian banyak, persaingan pun kian ketat. Berbagai cara dilakukan pedagang untuk menarik minat konsumen datang ke toko mereka. Demikian juga Asiwa yang meluncurkan ide jemput konsumen ke stasiun kereta api Cirebon.

Asiwa mengaku, layanan antar jemput konsumen ini terinspirasi layanan antar jemput yang dilakukan terhadap tamu-tamu hotel. “Kalau tamu hotel bisa dijemput, tentu tamu saya bisa dijemput juga,” terang Asiwa.

Asiwa memberikan layanan antar jemput gratis itu menggunakan minibus miliknya. Hitungan Asiwa, biaya antar jemput ini tidak terlalu besar. Masih bisa ditutup dengan keuntungan berjualan batik sebab lokasi toko dengan stasiun relatif terjangkau, termasuk dengan terminal. "Akses transportasinya cukup mudah, tapi kami butuh mendekatkan diri kepada konsumen,” terang Asiwa.

Layanan prima kepada konsumen itu ternyata mendapat respons yang baik dari pelanggan atau calon pelanggan Asiwa. Bahkan ada konsumen secara sukarela menginformasikan layanan itu lewat media sosial di internet. "Saya tidak promosi sendiri, tapi pelanggan yang mempromosikan," terang Asiwa.

Dengan layanan antar jemput itu tak hanya pembeli yang menjadi kenal Asiwa. Nama Asiwa pun tenar di kalangan pedagang batik di luar Cirebon sehingga mereka pun kulakan batik di toko Asiwa.

Nah, bagi calon pelanggan yang ingin berbelanja ke showroom Asiwa di Cirebon itu dan ingin dijemput di stasiun caranya cukup mudah. Pelanggan tinggal menghubungi Jaya Abadi dan kemudian membuat janji kedatangan. “Kalau jumlahnya sedikit, saya jemput pakai mini-bus kalau banyak saya jemput pakai Isuzu Elf yang mampu mengangkut penumpang lebih banyak,” terang Asiwa, berpromosi.

Asiwa mengaku, berkat layanan antar jemput itulah penjualan batiknya menanjak drastis. Belakangan ini, dalam sebulan Asiwa bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta per bulan.  

Rabu, 21 September 2011 | 13:03  oleh Fransiska Firlana
INSPIRASI ASIWA
Asiwa bikin toko bagus agar konsumen nyaman (2)

Berkat layanan antar-jemput, usaha Asiwa makin membesar. Kini, ia sudah punya tiga toko dan armada khusus untuk antar jemput pelanggan. Selain antar jemput untuk pejabat pemerintah dan wisatawan yang menjadi pelanggan Jaya Abadi, Asiwa juga menyediakan antar jemput untuk pedagang batik dari luar Cirebon.

Ide Asiwa, pemilik toko batik Jaya Abadi di Cirebon, untuk menyediakan layanan antar jemput buat pelanggan ternyata tak sia-sia. Berkat layanan itulah ia bisa menggaet pelanggan dari Jakarta dan sekitarnya dan dari berbagai provinsi.

Segmen pelanggan Asiwa juga beragam, mulai wisatawan, pejabat pemerintahan pusat hingga daerah, termasuk juga pedagang yang kulakan batik di Jaya Abadi. "Istri pejabat juga sering belanja ke tempat saya," terang Asiwa.

Kebanyakan pelanggan yang menggunakan jasa antar jemput itu adalah pelanggan dari Jabodetabek dan Jawa Barat. Sebab ada perjalanan kereta api tujuh kali sehari dari arah Jakarta menuju Cirebon dan sebaliknya.

Karena mudahnya transportasi itulah konsumen dari Jakarta senang belanja batik ke Cirebon. “Pengunjung dari Jakarta bisa datang belanja hanya cukup dalam sehari saja,” tutur Asiwa.

Hampir sama dengan toko batik lainnya, toko Asiwa pun ramai pengunjung di saat liburan. Sebaliknya, di saat Ramadan pengunjung sepi. Dan baru ramai lagi saat libur Lebaran.

Meski di saat Ramadan sepi pengunjung, tapi jangan dikira omzet Asiwa ikut melorot. Justru di saat sepi inilah order atau pesanan batik malah ramai datang dari luar Cirebon. "Bulan Puasa jumlah pengunjung sepi, tapi pesanan banyak," terangnya.

Biasanya pelanggan Asiwa yang rutin memesan batik itu berasal dari Bali, Medan, Palembang, Yogyakarta, dan beberapa kota di Jawa. Kalau ingin pesan, pelanggan cukup memencet nomor telepon untuk memesan batik yang diinginkan.

Selain memberi layanan antar jemput, sikap Asiwa yang baik terhadap pelanggan juga menghasilkan "keuntungan" yang lain. Seorang pelanggan Asiwa dengan suka rela mempromosikan Jaya Abadi di internet. Lihat saja, nama Asiwa beberapa kali tampil di beberapa blog milik pelanggan di internet.

Layanan antar jemput dan seringnya Asiwa nongol di internet membuat usahanya makin terkenal. Bahkan mobil minibus miliknya tak cukup lagi menjemput pelanggan yang sudah terlalu banyak.

Agar layanan antar jemputnya tetap lancar, Asiwa memutuskan membeli minibus Isuzu Elf seharga Rp 290 juta dengan cara kredit. "Angkutan ini bisa membawa 20 tamu sekaligus," terang Asiwa yang mempekerjakan sopir khusus untuk melayani antar jemput itu.

Semakin banyaknya pelanggan tentu membuat fulus Asiwa semakin tebal. Dengan duit yang makin lancar mengalir, Asiwa pun memberanikan diri menambah toko. Tak tanggung-tanggung, tiga toko batik berukuran besar dia bangun sekaligus.

Bagi Asiwa kenyamanan pengunjung adalah nomor satu. Karena itu toko-toko barunya itu dia desain senyaman mungkin. “Konsumen itu harus nyaman. Kalau sudah nyaman, mereka akan membeli," imbuh Asiwa.

Trik Asiwa yang menyediakan layanan antar jemput untuk pelanggan itu mendapat acungan jempol dari Adi Jakaria, pengamat manajemen dari Universitas Indonesia (UI). Adi menilai upaya Asiwa itu sebagai terobosan yang berani. "Apalagi ia melakukannya secara mandiri," ungkap Adi.

Tak hanya itu, Adi menilai layanan antar-jemput konsumen secara gratis oleh Asiwa itu mesti punya perhitungan cermat. Sebab modal untuk menyediakan armada antar jemput juga lumayan besar. "Jasa antar jemput mesti sesuai dengan jumlah pelanggan yang datang," terang Adi.

Adi menyatakan, layanan antar jemput itu jelas akan membuat penyedia jasa ini populer. Sebab, pelanggan yang datang akan merasakan kenyamanan dalam berbelanja. "Konsumen juga tidak perlu repot memikirkan transportasi," terang Adi, panjang lebar.

Selain menghitung jumlah calon pelanggan, untuk menerapkan pola serupa mesti mempertimbangkan lokasi dan kondisi toko. Karena itu, bagi yang ingin mencontoh kiat Asiwa, perlu menghitung dengan cermat biaya penjemputan dari toko ke lokasi penjemputan.

Namun Adi mengingatkan, layanan antar-jemput ini tidak efektif bila diberlakukan terlalu lama. “Layanan ini ampuh, tapi tidak untuk jangka panjang,” kata Adi.

Kamis, 22 September 2011 | 13:40  oleh Fransiska Firlana
INSPIRASI ASIWA
Asiwa awali karier dari pedagang batik keliling (3)

Demi mencapai sukses menjual produk batik khas Cirebon, Asiwa yang kini sudah menjadi juragan batik, mengawali usahanya ini dengan berjualan batik keliling dari satu kota ke kota lain. Baru pada 2005 Asiwa bisa buka toko sendiri. Toko batik itu pula yang menginspirasi warga Trusmi membuka membuka toko serupa.

Untuk menggapai sukses ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya itulah pengalaman Asiwa, pemilik toko batik Jaya Abadi di Cirebon, Jawa Barat, ketika mengawali berbisnis batik cirebon.

Asiwa butuh puluhan tahun agar usaha batiknya dikenal hingga ke berbagai daerah. Tak hanya itu, Asiwa juga telah menapak ribuan kilometer untuk mencari pelanggan batiknya.

Ketika itu, kenang Asiwa, sekitar tahun 1980-an dia baru lulus SMA. Namun demi mencari masa depan yang lebih baik, Asiwa rela menjadi pedagang batik keliling dari satu kota ke kota lainnya di berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Jawa Timur. "Saya jualan batik hingga Surabaya," kenang Asiwa.

Ketika itu, Asiwa optimistis, dagangannya bakal laku karena batik cirebon punya ciri khas yang berbeda dengan batik lain. Kekhasan batik cirebon itu terletak pada luriknya yang tidak terdapat pada batik lain.

Berbekal minibus, Asiwa keliling berbagai kota. Minibus ini memang berjasa bagi karier Asiwa. Dengan minibus ini pula Asiwa mewujudkan kiat pemasarannya: antar jemput pelanggan.

Kesabaran Asiwa menjajakan batik cirebon ternyata berbuah manis. Banyak pedagang batik dari berbagai kota yang menjadi langganan setia Asiwa. Alhasil, karena saling percaya, transaksi tak lagi butuh ketemu muka tapi cukup dengan saling telepon dan barang dikirim dengan menggunakan jasa ekspedisi.

Bahkan, dalam perkembangannya, setelah menjelajah di pasar Jawa, Asiwa juga menjual batik hingga ke Sumatra. Kini, Asiwa sudah memiliki pelanggan di Medan dan Palembang. "Ada juga pelanggan dari Bali yang juga rutin pesan batik," jelas pria berkumis itu.

Setelah punya banyak pelanggan, barulah Asiwa memutuskan membuka toko di depan rumahnya di daerah Trusmi, pada 2005 lalu. Dengan sendirinya, sejak membuka toko, Asiwa pun mulai jarang berjualan keliling berbagai kota.

Namun begitu, pesanan batik dari pelanggannya tetap mengalir. Terkadang para pelanggannya berkunjung ke toko, selain hanya untuk silaturahmi, pelanggan itu mencari produk batik baru.

Agar tidak mengecewakan pelanggan, Asiwa rutin memperbaharui jualannya. Ia berusaha menjual batik selengkap mungkin, agar tokonya menjadi toko batik one stop shopping.

Di tokonya, Asiwa menjual beragam jenis batik, mulai batik tulis, batik cap, dan batik printing khas Cirebon. Namun, untuk memenuhi konsep one stop shopping bagi toko batinya, Asiwa pun menjual batik dari berbagai daerah di Indonesia, mulai batik solo, batik yogyakarta, dan juga batik pekalongan.

Namun, agar tokonya menjual produk eksklusif, Asiwa juga membuat motif batik sendiri yang berbeda dengan produk batik cirebon lainnya. “Selain menjual batik lembaran, kami juga menjual batik jadi berupa baju atau gaun,” terang Asiwa.

Dalam memproduksi batik, Asiwa tidak perlu jauh-jauh mencari pekerja. Sebab, di Trusmi banyak ahli membatik. Sebab, tradisi membatik di Trusmi sudah turun-temurun.

Sebenarnya, keuletan Asiwa itu menjadi pionir bagi pedagang batik lain di Trusmi. Setelah melihat toko batik Asiwa sukses, terutama dalam lima tahun terakhir ini, mereka juga ramai-ramai membuka toko batik.

Kini jumlah toko batik di Trusmi mencapai puluhan toko. "Jarak satu toko dengan toko lain terkadang tidak sampai 50 meter," terang Asiwa.

Lantaran jumlah pedagang batik di Jalan Panembahan itu kian banyak, membuat lokasi ini menjadi tujuan belanja batik di Cirebon. Letak yang strategis membuat kawasan ini semakin cepat dikenal. Apalagi akses dan infrastruktur jalan di situ juga memadai. Bahkan, belakangan muncul rencana akan membuat mal batik di kawasan itu.

Namun, kehadiran puluhan toko batik itu tidak membuat Asiwa gundah. Sebab, para pedagang batik di Trusmi rata-rata bersaudara. "Kami yang tinggal di Trusmi masih memiliki leluhur yang sama, yang rata-rata menguasai batik," ungkap Asiwa. Selain itu, pesaing itu obat untuk tetap bersemangat.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/1316501729/77836/Asiwa-sukses-usai-jemput-pelanggan-ke-stasiun-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77944/Asiwa-bikin-toko-bagus-agar-konsumen-nyaman-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78054/Asiwa-awali-karier-dari-pedagang-batik-keliling-3

INSPIRASI SURYA AGUNG SAPUTRA

Peluang Usaha

INSPIRASI

 
Rabu, 21 September 2011 | 13:32  oleh Ragil Nugroho
INSPIRASI SURYA AGUNG SAPUTRA
Surya menjual salak pondoh hingga ke negeri China

Meskipun bergelar sarjana teknik, Surya Agung Saputra tak sungkan bertani salak. Sembari menanam salak, ia juga merintis pemasaran salak ke usaha ritel modern. Setelah sukses, ia mengajak 40 kelompok tani melakukan hal serupa, termasuk ekspor ke China. Dampak letusan Merapi 2010 lalu menganggu ekspor karena kerusakan lahan produksi.

Salak pondoh adalah salah satu buah tropis yang banyak penggemarnya. Tidak hanya di Indonesia, tetapi hingga ke Negeri Panda. Daerah penghasil utama salak pondoh adalah Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Walaupun daerah itu memiliki buah salak yang terkenal, tapi pada tahun 2000-an banyak petani salak pondoh kesulitan memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal itu terjadi lantaran harga salak pondoh sempat jatuh ke titik terendah, yakni hanya Rp 1.500 per kilogram (kg)

Kondisi itulah yang mengetuk hati Surya Agung Saputra. Sarjana Teknik Industri jebolan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu bertekad untuk meningkatkan taraf ekonomi petani salak pondoh di kampung halamannya itu.

Surya tidak hanya berperan dalam memberdayakan petani saja, si tukang insinyur itu tak sungkan angkat pacul dan menanam salak sendiri. "Banyak sarjana pertanian malu jadi petani, kalau saya tidak malu jadi petani," ungkap Surya yang saat itu hanya mengelola 4.000 meter persegi kebun salak milik orangtunya.

Pria kelahiran Sleman, 9 Januari 1976 silam memang besar dari keluarga petani salak. Karena itulah Surya bertekad meningkatkan taraf hidup petani salak yang kebanyakan adalah sanak familinya. "Harga Rp 1.500 per kg tidak masuk akal," kata Surya.

Harga salak pondoh yang murah terjadi karena produksi tidak terdistribusi dengan baik ke pasar. Ketika panen, salak menumpuk di pasar tradisional. Sementara salak pondoh tidak hanya diproduksi di Sleman saja, banyak daerah sudah mulai menghasilkan salak ini seperti Jawa Timur, Sumatera hingga Kalimantan.

Tidak kuasa melihat kondisi itu, anak kedua dari empat bersaudara berusaha merintis distribusi salak pondok ke ritel modern. Usaha itu tidaklah mudah, ia mesti memperbaiki kualitas buah berduri tersebut agar bisa diterima pengelola ritel.

Karena itu, agar buah nampak cantik, Surya berusaha menghilangkan duri di kulit salak, kemudian memilih salak yang memiliki tingkat kematangan 60%. "Tingkat kematangan mesti dijaga agar bisa tahan lebih lama," kata Surya. Dengan cara ini, salak Suryo pun sukses menembus pasar ritel modern.

Setelah membuka salak pondoh bisa nangkring di ritel modern itulah Surya merasakan ada kenaikan pendapatannya. Dengan semangat berbagi, Surya berinisiatif membagi pengetahuannya itu kepada kelompok tani yang lain.

Namun sebelum membuat sistem pemasaran salak ke ritel modern, ia terlebih dahulu memperkenalkan pola tanam salak organik kepada petani. "Hal ini memungkinkan karena tanah sisa erupsi Merapi sangat subur," terang Surya.

Setelah petani beralih menggunakan pola tanam organik, Surya membentuk Surya Alam Sejahtera Indomerapi atau dikenal dengan nama SAS Indomerapi. Ini adalah organisasi sosial yang dibentuk untuk mengembangkan ekonomi petani. "SAS Indomerapi yang memasarkan salak pondoh itu," kata Surya.

Setelah SAS Indomerapi terbentuk, Surya mengajak 40 kelompok petani mengumpulkan salak untuk dipasarkan ke ritel modern. Saat itu Surya sudah menggandeng kerja sama dengan Carrefour dan juga Hypermart yang ada di Jabodetabek.

Salak pondoh petani itu dipasarkan sebanyak 500 kg lewat 41 gerai ritel milik Carrefour dan Hypermart di Jabodetabek. "Tahun 2006 kami tambah dan memasok ke Hypermart yang ada di Lippo Karawaci, Tanggerang," terang Surya.

Walaupun sudah merambah ritel modern yang ada di Jakarta, Surya tidak melupakan pemasaran di kota Yogyakarta dan Bandung. Ia pun memasok salak pondoh itu ke sejumlah toserba di kedua kota itu. "Pengembangan ke dua kota ini tahun 2007," terang Surya.

Geliat bisnis salak pondoh itu terus berkembang. Dalam kurun waktu 2008-2010, Surya melalui SAS Indomerapi berhasil mengekspor salak pondoh ke China.

Saat itu, Surya mengekspor 10 ton per minggu dengan harga Rp 7.500 per kilogram. Saat itu, China membutuhkan salak pondoh lebih besar. "China membutuhkan salak pondoh 20 ton per hari," terang Surya.

Menurut Surya, banyak warga China menggandrungi salak pondoh karena dipercaya bisa memulihkan stamina. Tak hanya itu, mereka juga butuh salak untuk upacara tradisional lantaran kulit salak mirip sisik naga.

Karena pasar salak pondoh itu makin terbuka, banyak kelompok tani mulai memisahkan diri dan membuka akses pasar sendiri. "Petani sebagian bisa memasarkan sendiri," tegas Surya yang kini masih membina 20 kelompok tani lagi.

Walaupun sukses membuka akses pemasaran salak pondoh, kini Surya dan petani binaanya berhadapan dengan cobaan. Meletusnya Gunung Merapi tahun lalu membuat lahan perkebunan salak mereka rusak.

SAS Indomerapi menghitung, sedikitnya ada 1.500 hektare kebun salak rusak berat. Kondisi itu menurunkan kapasitas produksi salak Sleman dari 120.000 ton per tahun menjadi 48.000 ton per tahun. "Butuh tiga tahun agar bisa kembali pulih lagi," kata Surya.

Dampak letusan Merapi itu membuat petani salak kesulitan keuangan, karenakebun-kebun mereka tidak produktif lagi. Untuk itu, Surya mengaku sedang berupaya mencari bantuan pembiayaan terutama dari lembaga donor asing yang peduli pertanian.

Namun begitu, ekspor salak yang sempat terputus kembali dilakukan Surya. Namun jumlah salak yang diekspor itu tidak sebanyak tahun 2008-2010. "Paska bencana buah salak yang panen mengalami penurunan kualitas dan kuantitas panen," terang Surya.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77949/Surya-menjual-salak-pondoh-hingga-ke-negeri-China

INSPIRASI HENNY WIDJAJA

Peluang Usaha

INSPIRASI

Rabu, 21 September 2011 | 13:57  oleh Handoyo
INSPIRASI HENNY WIDJAJA
Di tangan Henny, cabai bisa jadi abon (1)
Sudah banyak yang membuktikan bahwa hobi memang sanggup mendatangkan rezeki yang tak sedikit. Henny Widjaja pun membuktikan hal itu. Perempuan berusia 37 tahun asal Jakarta ini mampu meracik omzet hingga sebesar Rp 300 juta setelah dia sukses membisniskan hobinya membuat abon cabai.

Lazimnya abon terbuat dari bahan baku daging sapi, ayam atau ikan. Namun di tangan Henny Widjaja, abon bisa dibuat dengan bahan baku cabai. Karena itu, abon ini pun diberi nama abon cabai.

Dari membuat dan menjual abon cabai ini, perempuan berusia 37 tahun itu mampu mendulang omzet lebih dari Rp 300 juta per bulan. Abon cabai yang ia produksi kini sudah memiliki banyak penggemar. Penggemar abon cabai itu tidak hanya di Jakarta tetapi juga hingga ke berbagai kota di Nusantara.

Henny pertama kali memproduksi abon cabai saat ia belajar membuat bumbu masakan ala Italia. "Bumbu masakan yang saya bikin itu mirip sambal tetapi kering," jelas Henny.

Dari belajar membuat bumbu ala Italia itulah, Henny mempunyai ide untuk membuat masakan kreasi baru. Nah, saat memasak bumbu italia itulah dia secara tidak sengaja menemukan racikan bumbu abon cabai. "Pertama kali saya produksi abon cabai itu pada 2008," kata Henny.

Sebelum membuat abon dengan skala produksi, Henny sempat beberapa kali melakukan uji coba masakan barunya itu hingga benar-benar menemukan rasa yang cocok. Setelah itu, barulah dia memproduksi, meski masih dalam skala kecil-kecilan. Agar produk abon cabai itu mudah dikenal, Henny membubuhkan nama kecilnya Ninoy untuk merek abon itu.

Henny mengungkapkan, abon cabai buatannya itu terbuat dari campuran cabai rawit segar, cabai keriting segar dengan racikan rempah-rempah. Sebelum diolah, rempah dan campuran cabai itu dikeringkan terlebih dahulu.

Sebelum dipasarkan secara luas, Henny menjual abon cabai itu di kantin miliknya yang dekat dengan kompleks kos mahasiswa. Tanpa disangka, ternyata penghuni kos-kosan suka dengan abon cabai buatan Henny. Mereka sering membeli untuk lauk. "Abon cabai ini praktis dan ringkas untuk dibawa ke mana-mana," ujar Henny.

Tentu, pembeli pun semakin banyak seiring makin terkenalnya abon cabai itu. Tak hanya anak kos, ibu-ibu rumah tangga pun juga suka membeli abon cabai. "Karena peminat kian banyak, produksi pun saya tambah dan makin bervariasi," ujar Henny.

Selain abon cabai varian orisinal yang terbuat dari cabai murni, ia memiliki abon cabai varian teri bawang yang terbuat dari campuran cabai dengan bawang dan ikan teri. "Penggemarnya banyak karena orang Indonesia memang suka pedas," terang Henny.

Agar penjualan abon cabai makin besar, Henny juga mendistribusikannya ke pasar. Ia memanfaatkan jaringan pemilik salon kecantikan kenalannya. "Saya dulu make up artis sehingga banyak kenalan pemilik salon," imbuh Henny.

Selain itu, Henny memanfaatkan internet untuk memasarkan abon cabainya. "Iklan di Kaskus itu saya dibantu mahasiswa langganan saya," jelas Henny tertawa.

Setelah gencar promo melalui gerai salon dan dunia maya, Henny malah kelabakan menerima pesanan. Maklum, pesanan tak datang dari sekitar rumahnya, tapi juga datang dari seluruh Jakarta, bahkan pesanan datang dari kota-kota di Jawa, Sumatra, Sulawesi hingga Papua.

Kini, Henny sudah memiliki sekitar 200 agen pemasar. Mereka ini tersebar di Jakarta, Surabaya, Semarang, Makassar hingga Papua.

Yang unik, Henny enggan memasarkan abon cabainya itu ke supermarket atau ritel modern. "Saya ingin orang lain juga memiliki penghasilan tambahan," dalih Henny.

Henny mengaku sengaja membuat distribusi abon cabai itu secara tertutup agar menimbulkan kesan eksklusif. "Pelanggan sering binggung, iklannya banyak di Kaskus, tapi barangnya tidak mudah ditemukan," tambah Henny.

Setelah pasar semakin besar, Henny kini tidak perlu repot untuk mengolah abon cabai itu sendirian. Ia kini sudah mampu mempekerjakan dan menggaji 18 karyawan. Mereka ini bekerja mengolah 5 ton cabai menjadi 1 ton abon cabai setiap bulan. Sekian banyak abon itu dijual dalam kemasan kemasan botol ukuran 100 gram dengan harga antara Rp 30.000 hingga Rp 35.000.

Kamis, 22 September 2011 | 14:21  oleh Handoyo
INSPIRASI HENNY WIDJAJA
Sebelum jadi juragan abon, Henny pernah jadi figuran film (2)

Lahir dari keluarga dengan latar belakang wirausaha, itulah sebabnya Henny Widjaja, pemilik Abon Cabai Ninoy, tidak canggung mengarungi dunia bisnis. Sebelum sukses menggeluti bisnis abon cabai, Henny sempat bekerja sebagai make-up artis bahkan sempat menjadi figuran beberapa judul film.

Sejak kecil Henny Widjaja, pemilik usaha abon cabai merek Ninoy sudah terdidik menjadi wirausaha. Maklum, ia lahir dan tumbuh dewasa dari keluarga yang berlatar belakang pengusaha salon kecantikan di Jakarta.

Itulah sebabnya, sejak usia sembilan tahun, Henny sudah mendapat pelajaran mengenai tata kecantikan dari orang tuanya. Bahkan, saat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), Henny sudah mahir memotong rambut. Henny pun sering jadi langganan potong rambut teman-teman sekolahnya. Bahkan hingga kini mereka menjadi langganan Henny untuk urusan perawatan kecantikan.

Usai menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA), masa depan Henny di dunia tata kecantikan semakin jelas. Dia ikut berbagai kursus kecantikan. Itu semua demi meneruskan usaha salon milik keluarga. "Saya juga sempat kurus di salon Rudy Hadisuwarno," terang Henny.

Bisa dibilang sejak 1992-1996, hidup Henny hanya untuk salon milik orang tuanya itu. Karena itu, "Basic saya sudah kuat di dunia salon," kata Henny.

Karena masih muda, orang tuanya menyarankan Henny belajar lagi. Kali ini mereka menyarankan Henny belajar bahasa Inggris ke Sidney, Australia. Namun, Henny punya pilihan lain. Meski tetap berangkat ke Negeri Kanguru, dia tak belajar bahasa Inggris. Dia lebih memilih belajar di jurusan studi manajemen bisnis. "Saya kuliah juga untuk dapat visa tinggal di Australia karena izin tinggal mahasiswa bisa lebih lama," terang Henny.

Di Australia pun, Henny tak menyia-nyiakan keahliannya di bidang tata kecantikan. "Sayang jika tidak dimanfaatkan, apalagi biaya hidup di Australia sangat mahal," terangnya.

Sambil kuliah, Henny pun bekerja pada salah satu salon kecantikan milik warga Italia. Karena masih baru di Australia, Henny belum fasih berbahasa Inggris. "Saat pertama bekerja, saya berkomunikasi dengan bahasa isyarat," kenang Henny sambil tersenyum.

Tidak lama Henny bekerja di salon itu, Henny kemudian pindah ke salon kecantikan yang dia nilai lebih bergengsi di Sidney. Namun, ia juga tidak lama bekerja di salon itu, karena mulai sibuk kuliah, Henny memutuskan bekerja di salon kecantikan yang lebih dekat dengan kampus.

Saat bekerja di salon itu, Henny sering mendapat pujian dari atasannya. Sebab, Henny memiliki kemampuan menggunting rambut di atas rata-rata karyawan yang ada di salon itu.

Jika karyawan lainnya bisa memotong rambut tiga pelanggan dalam sehari, Henny bisa memotong enam rambut pelanggan dalam sehari. "Pekerjaan saya melebihi pekerjaan pegawai paruh waktu," terang Henny.

Empat tahun lamanya Henny menyelesaikan kuliah di Sydney. Selain meraih gelar sarjana, Henny juga mendapatkan tambatan hati dan memutuskan menikah di negeri Kanguru itu.

Sayang, setelah dikaruniai satu orang putra, rumah tangga Henny kandas di tengah jalan. Pada tahun 2000, ia memutuskan kembali ke Jakarta bersama putranya.

Ketika sampai di Jakarta, Henny tak pernah lupa dengan salon. Dia sempat bekerja di beberapa salon kecantikan. Hingga akhirnya ia menjadi tim artistik untuk film layar lebar. Waktu itu, Henny dipercayakan menjadi make-up artis.

Selain menjadi make-up artis, beberapa kali ia sempat menjadi pemeran figuran dalam beberapa judul film. Bahkan Henny sempat berharap suatu ketika bisa menjadi bintang film benaran. Namun, karena tawaran untuk peranan yang lebih penting tidak datang setiap saat, Henny akhirnya memilih meninggalkan dunia entertainment itu.

Tidak mudah bagi Henny menjalani hari-hari tanpa ada aktivitas, apalagi ia sudah terbiasa bekerja. Agar tetap memiliki aktivitas, ia memutuskan untuk menekuni bisnis makanan. Ia melirik bisnis makanan karena memasak adalah salah satu dari hobinya.

Henny lantas berinisiatif untuk membuka kantin makanan di rumahnya. "Kebetulan rumah saya dekat dengan kos-kosan mahasiswa," terang Henny. Berkat bisnis makanan itulah Henny menemukan racikan abon cabai yang kelak mengharumkan namanya.

 
Jumat, 23 September 2011 | 14:50  oleh Handoyo
INSPIRASI HENNY WIDJAJA
Henny ingin mewaralabakan abon cabai (3)

Dengan modal Rp 2,5 juta, Henny berhasil membangun bisnis abon cabai. Kini, agen penjualan cabai itu telah tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Namun, Henny berharap usahanya makin berkembang. Karena itu, dia berencana menawarkan kerja sama kemitraan atau waralaba abon cabai.

Untuk memulai usaha, ternyata tidak selalu harus menggunakan modal banyak. Seperti yang dilakukan Henny Widjaya, pemilik usaha abon cabai Ninoy ini hanya punya modal Rp 2,5 juta untuk memulai usaha.

Bagi Henny, modal terbesar dalam berbisnis adalah keberanian untuk memulai. Banyak orang yang belum memulai bisnis sudah khawatir bakal merugi atau usahanya tidak akan berkembang pesat.

Namun Henny berhasil menepis segala kekhawatiran itu. Bahkan ia rela meninggalkan keahliannya di bidang tata kecantikan demi menekuni bisnis abon cabai.

Bagi Henny, modal kecil juga bukan masalah asalkan dia bisa menata penggunaan modal itu. Salah satu caranya, dengan membatasi jumlah produksi abon cabai. "Uang itu hanya cukup untuk membeli bahan baku seperti cabai rawit dan cabai keriting sebanyak 50 kilogram (kg)," kata Henny.

Soal peralatan produksi, Henny menggunakan peralatan dapur seadanya. Bahkan proses pengeringan cabai dilakukan dengan menggunakan sinar matahari. Itulah sebabnya, Henny hanya bisa manyun saat musim hujan tiba. Di musim hujan, cabai bakal lama keringnya. "Masalah usaha saya waktu itu adalah cuaca," terang Henny.

Nah, agar tidak tergantung pada cuaca, Henny beralih menggunakan oven untuk mengeringkan cabai. Tak tanggung-tanggung, Henny membeli oven berkapasitas 100 kg.

Ternyata, pengeringan cabai dengan oven ini memang lebih mudah. Selain itu, lebih praktis dan cepat. "Cabai seberat 100 kg setelah kering tinggal 15 kg saja." jelas Henny.

Karena permintaan abon kian banyak, oven itu ternyata tidak mencukupi lagi. Itulah sebabnya, dalam waktu dekat ini Henny akan membeli oven dengan kapasitas lebih besar.

Untuk mengembangkan bisnisnya ini, Henny pun merekrut banyak sekondan sebagai pemasar di berbagai daerah. Kepada sekondannya ini, Henny menerapkan prinsip kerja sama saling menguntungkan.

Henny mengaku, tidak ingin keuntungan bisnis abon cabai hanya dia nikmati sendiri. "Harus ada simbiosis mutualisme," terang Henny yang kini memiliki agen yang tersebar di berbagai penjuru Tanah Air.

Selain agen, pengembangan usaha abon itu juga melibatkan 18 pekerja. Mereka inilah yang sehari-hari bersama Henny memproduksi pesanan abon. "Mereka sudah saya anggap saudara sendiri," terang Henny.

Walaupun sudah memiliki banyak agen di seluruh Tanah Air, ternyata tidak membuat Henny lengah dan berhenti memperluas usaha. Baru-baru ini ia berencana untuk menawarkan usaha abon cabai Ninoy lewat kerja sama kemitraan atau waralaba. "Saat ini saya masih dalam persiapan," terang Henny.

Sebelum memutuskan membuka kemitraan atau waralaba, Henny mengaku harus membenahi distribusi lebih dulu. Ia ingin ada perbaikan peran agen dalam mendistribusikan abon cabai kepada konsumen.

Henny akan membagi agen menjadi dua kelompok. Kelompok pertama disebut sebagai agen reguler dan kelompok kedua disebut agen premium. Dari dua kelompok agen itu yang membedakannya adalah proses pemesanan barang.

Agen premium memiliki batasan dalam memesan abon cabai, sedangkan agen reguler tidak memiliki batasan dalam memesan.

Pembenahan distribusi itu harus segera ia lakukan. Sebab selama ini antara Henny dengan para sekondannya itu tidak memiliki kerja sama tertulis. "Kami selama ini hanya mengandalkan keterbukaan dan saling memahami," terang Henny.

Menurut Henny, cara menjual agen juga berbeda-beda. Ada yang menjual lewat toko, ada pula agen yang memasarkan abon lewat dunia maya. Itulah sebabnya, abon buatan Henny ini cepat populer.

Sebagai bukti popularitas abon itu, kini sudah banyak yang mencontek. "Makin banyak pesaing, berarti banyak yang mengakui abon kami," ujar Henny.

Nah, untuk menghadapi kompetitor, tak ada pilihan lain bagi Henny selain menjaga mutu dan citarasa produk. Selain itu, Henni juga akan mengeluarkan produk baru untuk vegetarian.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78177/Henny-ingin-mewaralabakan-abon-cabai-3
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/78060/Sebelum-jadi-juragan-abon-Henny-pernah-jadi-figuran-film-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77953/Di-tangan-Henny-cabai-bisa-jadi-abon-1