Rabu, 21 September 2011

INSPIRASI SURYA AGUNG SAPUTRA

Peluang Usaha

INSPIRASI

 
Rabu, 21 September 2011 | 13:32  oleh Ragil Nugroho
INSPIRASI SURYA AGUNG SAPUTRA
Surya menjual salak pondoh hingga ke negeri China

Meskipun bergelar sarjana teknik, Surya Agung Saputra tak sungkan bertani salak. Sembari menanam salak, ia juga merintis pemasaran salak ke usaha ritel modern. Setelah sukses, ia mengajak 40 kelompok tani melakukan hal serupa, termasuk ekspor ke China. Dampak letusan Merapi 2010 lalu menganggu ekspor karena kerusakan lahan produksi.

Salak pondoh adalah salah satu buah tropis yang banyak penggemarnya. Tidak hanya di Indonesia, tetapi hingga ke Negeri Panda. Daerah penghasil utama salak pondoh adalah Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Walaupun daerah itu memiliki buah salak yang terkenal, tapi pada tahun 2000-an banyak petani salak pondoh kesulitan memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal itu terjadi lantaran harga salak pondoh sempat jatuh ke titik terendah, yakni hanya Rp 1.500 per kilogram (kg)

Kondisi itulah yang mengetuk hati Surya Agung Saputra. Sarjana Teknik Industri jebolan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu bertekad untuk meningkatkan taraf ekonomi petani salak pondoh di kampung halamannya itu.

Surya tidak hanya berperan dalam memberdayakan petani saja, si tukang insinyur itu tak sungkan angkat pacul dan menanam salak sendiri. "Banyak sarjana pertanian malu jadi petani, kalau saya tidak malu jadi petani," ungkap Surya yang saat itu hanya mengelola 4.000 meter persegi kebun salak milik orangtunya.

Pria kelahiran Sleman, 9 Januari 1976 silam memang besar dari keluarga petani salak. Karena itulah Surya bertekad meningkatkan taraf hidup petani salak yang kebanyakan adalah sanak familinya. "Harga Rp 1.500 per kg tidak masuk akal," kata Surya.

Harga salak pondoh yang murah terjadi karena produksi tidak terdistribusi dengan baik ke pasar. Ketika panen, salak menumpuk di pasar tradisional. Sementara salak pondoh tidak hanya diproduksi di Sleman saja, banyak daerah sudah mulai menghasilkan salak ini seperti Jawa Timur, Sumatera hingga Kalimantan.

Tidak kuasa melihat kondisi itu, anak kedua dari empat bersaudara berusaha merintis distribusi salak pondok ke ritel modern. Usaha itu tidaklah mudah, ia mesti memperbaiki kualitas buah berduri tersebut agar bisa diterima pengelola ritel.

Karena itu, agar buah nampak cantik, Surya berusaha menghilangkan duri di kulit salak, kemudian memilih salak yang memiliki tingkat kematangan 60%. "Tingkat kematangan mesti dijaga agar bisa tahan lebih lama," kata Surya. Dengan cara ini, salak Suryo pun sukses menembus pasar ritel modern.

Setelah membuka salak pondoh bisa nangkring di ritel modern itulah Surya merasakan ada kenaikan pendapatannya. Dengan semangat berbagi, Surya berinisiatif membagi pengetahuannya itu kepada kelompok tani yang lain.

Namun sebelum membuat sistem pemasaran salak ke ritel modern, ia terlebih dahulu memperkenalkan pola tanam salak organik kepada petani. "Hal ini memungkinkan karena tanah sisa erupsi Merapi sangat subur," terang Surya.

Setelah petani beralih menggunakan pola tanam organik, Surya membentuk Surya Alam Sejahtera Indomerapi atau dikenal dengan nama SAS Indomerapi. Ini adalah organisasi sosial yang dibentuk untuk mengembangkan ekonomi petani. "SAS Indomerapi yang memasarkan salak pondoh itu," kata Surya.

Setelah SAS Indomerapi terbentuk, Surya mengajak 40 kelompok petani mengumpulkan salak untuk dipasarkan ke ritel modern. Saat itu Surya sudah menggandeng kerja sama dengan Carrefour dan juga Hypermart yang ada di Jabodetabek.

Salak pondoh petani itu dipasarkan sebanyak 500 kg lewat 41 gerai ritel milik Carrefour dan Hypermart di Jabodetabek. "Tahun 2006 kami tambah dan memasok ke Hypermart yang ada di Lippo Karawaci, Tanggerang," terang Surya.

Walaupun sudah merambah ritel modern yang ada di Jakarta, Surya tidak melupakan pemasaran di kota Yogyakarta dan Bandung. Ia pun memasok salak pondoh itu ke sejumlah toserba di kedua kota itu. "Pengembangan ke dua kota ini tahun 2007," terang Surya.

Geliat bisnis salak pondoh itu terus berkembang. Dalam kurun waktu 2008-2010, Surya melalui SAS Indomerapi berhasil mengekspor salak pondoh ke China.

Saat itu, Surya mengekspor 10 ton per minggu dengan harga Rp 7.500 per kilogram. Saat itu, China membutuhkan salak pondoh lebih besar. "China membutuhkan salak pondoh 20 ton per hari," terang Surya.

Menurut Surya, banyak warga China menggandrungi salak pondoh karena dipercaya bisa memulihkan stamina. Tak hanya itu, mereka juga butuh salak untuk upacara tradisional lantaran kulit salak mirip sisik naga.

Karena pasar salak pondoh itu makin terbuka, banyak kelompok tani mulai memisahkan diri dan membuka akses pasar sendiri. "Petani sebagian bisa memasarkan sendiri," tegas Surya yang kini masih membina 20 kelompok tani lagi.

Walaupun sukses membuka akses pemasaran salak pondoh, kini Surya dan petani binaanya berhadapan dengan cobaan. Meletusnya Gunung Merapi tahun lalu membuat lahan perkebunan salak mereka rusak.

SAS Indomerapi menghitung, sedikitnya ada 1.500 hektare kebun salak rusak berat. Kondisi itu menurunkan kapasitas produksi salak Sleman dari 120.000 ton per tahun menjadi 48.000 ton per tahun. "Butuh tiga tahun agar bisa kembali pulih lagi," kata Surya.

Dampak letusan Merapi itu membuat petani salak kesulitan keuangan, karenakebun-kebun mereka tidak produktif lagi. Untuk itu, Surya mengaku sedang berupaya mencari bantuan pembiayaan terutama dari lembaga donor asing yang peduli pertanian.

Namun begitu, ekspor salak yang sempat terputus kembali dilakukan Surya. Namun jumlah salak yang diekspor itu tidak sebanyak tahun 2008-2010. "Paska bencana buah salak yang panen mengalami penurunan kualitas dan kuantitas panen," terang Surya.

Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77949/Surya-menjual-salak-pondoh-hingga-ke-negeri-China

Tidak ada komentar:

Posting Komentar