Salinan Informasi From: INDONESIA MARITIME INSTITUTE
INDONESIA berada di peringkat 18 perekonomian dunia. Namun, sejak merdeka 65 tahun silam, Indonesia hingga kini masih menjadi negara berkembang dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, GNP per kapita kecil (2.300 dolar AS), serta daya saing ekonomi rendah. Bahkan, The United Nations Development Programme menempatkan Indonesia pada peringkat 108 untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Faktor yang membuat terpuruknya perekonomian Indonesia adalah paradigma pembangunan yang berorientasi ke daratan (land base oriented). Sementara laut hanya diperlakukan sebagai tempat eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), pembuangan limbah, dan kegiatan ilegal. Untuk itu, diperlukan Maritime Policy untuk mengembalikan perekonomian Indonesia ke titahnya sebagai negara kepulauan.
Saat ini kebijakan pembangunan kelautan Indonesia belum dilaksanakan secara parsial. Masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh Undang-undang (UU) No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, motornya adalah Kementerian Perhubungan; UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, di bawah komando Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim dibutuhkan satu wadah Kementerian Koordinator yang ditunjang Undang-undang Kelautan. Sebut saja Kementerian Koordinator Kelautan atau Maritim. Melalui upaya ini diharapkan pembangunan kelautan Indonesia bisa dilaksanakan secara terintegrasi sehingga roda perekonomian negara meningkat.
Karena itu, pemerintah harus segera mengubah paradigma pembangunan, sebab ekonomi maritim menyimpan potensi menggerakkan perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, SDA non-konvensional, industri sampai dengan jasa maritim.
Total potensi ekonomi maritim Indonesia sangat besar. Diperkirakan mencapai Rp 7.200 triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp 1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB saat ini (Rp 5.000 triliun). Ditaksir lapangan kerja yang tersedia sekitar 30 juta orang.
Ke depan ekonomi maritim akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini sudah terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.
Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km2, dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu kini telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura. Saat ini Malaysia mencoba menyamai Singapura dengan membangun pelabuhan Kelang dan Tanjung Pelepas. Ironisnya, sebagai negara yang memiliki wilayah laut dan pesisir terluas, Indonesia hanya bisa menjadi penonton.
Mengenai sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 di daratan. Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik.
Di lepas pantai Barat Sumatera, Jawa Barat bagian selatan dan bagian Utara Selat Makassar telah ditemukan pula jenis energi baru pengganti BBM, berupa gas hidrat dan gas biogenik dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.
Tidak hanya itu, Indonesia memiliki potensi budi daya rumput laut yang besar. Walau hanya mengusahakan 32.000 ha (kurang lebih 30 persen total potensi), ditaksir dapat memproduksi sekitar 160 juta kg rumput laut kering per tahun, dengan nilai sebesar Rp 1,1 triliun per tahun (harga Rp 7.000/kg). Jika dikelola intensif produksinya bisa mencapai 2-3 kali lipat.
Seandainya diproses menjadi beragam semi-refined products (karaginan, alginat, agar, makanan, minuman) atau refined products (bahan pencampur shampo, coklat, es krim, milk shake, permen, pasta gigi, salep, pelembab, lotion, industri cat, tekstil), nilainya akan berlipat ganda sehingga mencapai multiplier effects bagi pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut belum termasuk komoditas lain yang mempunyai harga tinggi dan dibutuhkan pasar domestik, seperti udang, tuna, kerapu, ikan hias, kerang mutiara, teripang, abalone.
Untuk itu, strategi dan kebijakan di bidang maritim (Maritime Policy) harus segera dibenahi guna mengoptimalkan potensi yang dimiliki, baik menyangkut sumber daya laut, industri maupun bisnis transportasi. Sektor maritim juga butuh pemihakan lewat kebijakan fiskal dan moneter.
Kebijakan pemerintah di bidang maritim, baik industri perikanan maupun industri pelayaran harus dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Selama ini pengembangan potensi maritim terbentur masalah struktural. Belum ada kesadaran politis secara nasional tentang betapa besarnya potensi ekonomi perikanan dan maritim. Sehingga, dibutuhkan pemihakan kebijakan sektor maritim, baik melalui kebijakan makro, fiskal, maupun moneter.
Saat ini sektor maritim masih ditempatkan di halaman belakang sebagai sektor yang termarjinalkan. Agar laut bisa menjadi halaman depan, perlu kesadaran politik yang kuat. Sebenarnya langkah ini sudah dirintis saat pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendirikan Departemen Eksplorasi Laut yang kini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Adapun masalah krusial sektor maritim adalah rendahnya komitmen pemerintah membangun sektor ini. Semua aktivitas maritim belum terpusat dalam satu departemen atau kementerian, sehingga fokus pengembangan sektor ini belum optimal karena hanya sebagai sub-sub sektor saja. Harusnya dibentuk satu departemen yang lebih fokus dan menjadikan maritim menjadi satu sektro tersendiri dengan sistem panganggaran dan kebijakan yang lebh terfokus dengan sebuah payung Maritime Policy.
Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), dikelilingi lebih dari 17.500 pulau, dengan panjang pantai 95.181 kilometer, ini adalah potensi kekayaan yang luar biasa. Potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10 persen.
Dari industri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku menjadi penyebab tidak berkembangnya industri ini. Utilitas pabrik yang rata-rata hanya 45 persen. menjadi masalah karena banyak hasil tangkapan ikan yang langsung diekspor ke luar negeri, terutama ke Thailand dan Jepang.
Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 yang melarang ekspor langsung hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan implementasi Permen tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sumber permasalahan lainnya adalah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), oleh asing yang nilainya ditaksir mencapai Rp 30 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jumlah kapal ukuran tersebut hanya 3 persen dari kebutuhan.
Pemerintah harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur perikanan dan maritim yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan tertinggal dibanding negara lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Sementara untuk sektor transportasi laut kendalanya adalah permodalan. Sektor tersebut dinilai masih berisiko tinggi untuk dibiayai, sehingga perbankan enggan mengucurkan kredit pembelian kapal kepada pelaku usaha di bidang pelayaran.
Sebagai tulang punggung sektor transportasi laut nasional, industri pelayaran membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam meningkatkan jumlah armada. Hanya dengan jumlah armada yang memadai, sektor transportasi laut bisa berkembang. Sayang, perbankan enggan mengucurkan dana ke perusahaan pelayaran. Padahal sejumlah perusahaan pelayaran sudah berusaha mengajukan kredit pembelian kapal, namun hasilnya nihil.
Kesulitan permodalan sebenarnya sudah terakomodasi dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 56 dari UU itu menyatakan, pemerintah wajib menciptakan inovasi pendanaan bagi perusahaan pelayaran nasional. Namun pada kenyataannya, usaha ini masih high risk. Kementerian Keuangan selaku pemegang kebijakan seharusnya bisa melihat masalah itu. Pemerintah harus bisa meyakinkan pihak bank bahwa perusahaan pelayaran nasional mampu mengembalikan kredit.
Pengembangan laut nasional juga membutuhkan dukungan pelabuhan. Sejauh ini, kebanyakan kondisi pelabuhan di Tanah Air sangat kurang kondusif. Selain biaya yang tinggi, pungli marak, juga fasilitas sandar yang sangat minim.
Hal ini karena pelabuhan masih dimonopoli PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Monopoli seharusnya dihilangkan, sehingga pelabuhan-pelabuhan bisa berbenah diri. Saat ini, pelabuhan masih menjadi profit center, tanpa dibarengi peningkatan layanan.
Pembangunan ekonomi maritim juga nyaris tanpa keberpihakan terhadap rakyat. Penguasaan sumber-sumber ekonomi dan praktik ekonomi yang didominasi asing, investasi tanpa seleksi, dan akses yang tidak setara telah mengakibatkan bangsa ini mengalami kemunduran dan tertinggal dari negara lain. Monopoli transportasi laut oleh armada asing saat ini mencapai 90 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar