Lifestyle
KOMUNITAS & HOBI
Rabu, 21 September 2011 | 09:08 oleh Dikky Setiawan
KONTES KICAU BURUNG
Duit berkicau riang di arena kontes burung
Jarum jam baru menunjuk pukul 12 siang ketika KONTAN menjejakkan kaki di lapangan kontes burung berkicau yang dikelola Tangerang Selatan (Tangsel) Enterprise, Kamis (15/9) pekan lalu. Suasana di arena lomba burung di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, itu mulai ramai dikunjungi para kicau mania, sebutan bagi para penghobi lomba burung berkicau.
Sebagian dari mereka terlihat tengah bercengkrama sembari menyeruput kopi dan menghisap rokok bersama rekan dan koleganya di teras rumah pemilik tanah arena kontes. Ada pula yang berteduh di bawah rimbunnya pepohonan di sekitar arena sambil mempersiapkan sang klangenan-nya turun kontes. Meski tiket telah dipegang, mereka rela menanti dimulainya latihan bersama (latber) kontes burung berkicau.
Akhirnya, sekitar pukul satu siang, latber burung berkicau di Tangsel Enterprise dimulai. Dengan sigap, para kontestan pun menggantungkan sangkar berisi burung jagoannya di nomor gantangan masing-masing. Oh, iya, gantangan adalah sebutan untuk tiang tempat sangkar burung digantung.
Biasanya, gantangan yang bisa dibongkar-pasang (knocked down) itu terbuat dari besi dengan tinggi sekitar 2,5 meter sampai 3 meter. Pada bagian atas gantangan terdapat nomor peserta kontes. Nomor ini terbuat dari plastik atau pelat besi sehingga tidak mudah rusak.
Ukuran gantangan di tiap arena kontes berbeda-beda. Contoh di Tangsel Enterprise, ukuran gantangan sekitar 12 x 8 meter persegi. Dengan luas segitu, arena itu bisa menampung 65 burung kontes. Jenis burung yang dipertandingkan antara lain murai batu, cucak ijo, kacer, love bird, kenari, pentet, cucak jenggot, dan ciblek.
Walau latber berjalan lancar, suasana gaduh tidak dapat dihindari. Hampir seluruh peserta berteriak, memberikan kode dengan menjentikkan jari tangan dan bersiul menyemangati burungnya agar mengeluarkan kicauan yang merdu.
Harga burung naik
Pemandangan semacam ini memang sudah seperti menjadi tradisi di setiap pagelaran kontes burung berkicau. Para pemilik burung ingin burung jagoannya menjadi jawara. Maklum, jika menang dan mendapat selembar sertifikat juara, harga burung ocehan bisa melonjak hingga berlipat-lipat.
Tengok saja kisah Yunus, salah satu kicau mania asal Cinangka, Depok, Jawa Barat. Di tahun 2010, pria yang akrab disapa Kapuk ini pernah memiliki burung berkicau jawara jenis kacer. Burung itu ia beli dengan harga Rp 600.000. Setelah memenangi lima kali berbagai kontes burung, dia menjual burung kacernya tadi seharga Rp 3 juta. “Saya merawat burung itu sekitar dua bulan,” kata ayah lima orang anak ini.
Bahkan, sebelumnya, Kapuk pernah punya burung Murai yang ia beli seharga Rp 1,8 juta dan ia jual lagi Rp 7,5 juta. “Padahal, burung itu hanya sekali juara dan saya rawat kurang dari satu bulan,” ungkap dia.
Itu hanya contoh kecil. Ada pengalaman serupa yang lebih dahsyat. Sofyan Juandi, Kepala Divisi Produk Yayasan BnR membeberkan, dia pernah melego cucak ijo seharga Rp 40 juta. “Burung itu sudah empat kali juara nasional. Saya beli seharga Rp 1,2 juta di Pasar Pramuka. Perawatannya hanya dua bulan,” ujar dia.
Pengalaman lain, Sofyan juga pernah melepas tledekan dengan harga Rp 125 juta. Harga belinya? Cuma Rp 6 juta. “Saya membeli di arena kontes di Solo, Jawa Tengah. Burung itu sudah saya rawat setahun dan sudah juara lebih dari 50 kali. Tapi, selain dari harga jual, saya juga untung dari uang menang lomba,” imbuh Sofyan.
Asal Anda tahu, keuntungan dari lomba burung bukan hanya bisa dinikmati para peserta kontes. Pengelola arena kontes juga menangguk gurihnya laba dari hobi ini. Karena itu, jangan heran jika di kawasan Jabodetabek kian banyak lapangan tempat lomba burung.
Salah satunya, ya, Tangsel Enterprise yang baru berdiri Maret 2011. Eddo Karya, Ketua Panitia Tangsel Enterprise, menjelaskan, dari setiap latber yang digelar setiap Kamis, pihaknya bisa menjual tiket kontes 100 lembar hingga 160 lembar. Dari penjualan tiket sebanyak itu, omzet yang bisa diraup penyelenggara kontes burung sebanyak Rp 2,5 juta sampai Rp 2,8 juta per acara.
Itu baru dari pemasukan kelas latber. Pemasukan Tangsel Enterprise akan melonjak tinggi pada saat menggelar lomba besar yang biasa digelar tiap 1,5 bulan sekali. Dari hasil penjualan tiket di acara ini, Eddo bilang, omzet Tangsel Enterprise mencapai Rp 25 juta.
Pemasukan naik pesat lantaran harga tiket kontes yang dijual saat lomba berbeda dengan tiket latihan bersama. Eddo menjelaskan, saat latber, harga tiket berkisar Rp 10.000-Rp 20.000, tapi ketika lomba besar, harga tiket naik menjadi Rp 40.000-Rp 200.000.
Lazimnya, yang membedakan harga tiket adalah kelas dan jenis burung yang dipertandingkan. Harga tiket termurah biasanya untuk lomba burung yang harga pasaran dan kualitasnya terbilang standar. Sebaliknya, tiket termahal dijual untuk lomba burung yang harga di pasarnya tinggi dan kualitasnya mumpuni. Hadiah juga ikut menentukan mahal atau murahnya tiket. Makin mahal harga tiket, makin besar hadiah yang bisa didapat pemenang lomba.
Menurut Eddo, dari total pendapatan latber atau lomba besar, sekitar 60% dipotong untuk pemberian hadiah. Adapun yang 25% untuk menutup biaya operasional karyawan yang terdiri dari penjual tiket, perawat lapangan, dan juri lomba. Sisanya sekitar 15% dialokasikan untuk dana kas. Dana kas antara lain untuk membayar sewa tanah sekitar Rp 1,3 juta per bulan. Tapi, “Kami bayar sewa tanah setelah menggelar lomba, sebab di situ penghasilan yang paling besar dan ada lebihnya,” tuturnya.
Bukan hanya Tangsel Enterprise yang menyewa lahan untuk kontes burung. Langkah serupa dilakukan pengelola Cinere Enterprise. Bahkan, sewa arena kontes yang berlokasi di Jalan Pepaya Raya, Jagakarsa, Jakarta Selatan ini lebih mahal, yakni Rp 20 juta setahun.
Hanya, arena yang sudah beroperasi sejak 2009 ini lebih beruntung. Mereka mampu meraup penghasilan lebih besar dibanding Tangsel Enterprise. Dari setiap latber yang digelar saban Sabtu, Cinere Enterprise bisa mengantongi pemasukan hingga Rp 25 juta. Uang itu berasal dari penjualan tiket sekitar 600 lembar. Harga jual tiket bervariasi, mulai dari Rp 20.000, Rp 30.000, hingga Rp 50.000.
Sementara itu, pemasukan dari lomba besar yang digelar tiap dua bulan sekali bisa menembus Rp 100 juta. Tapi, sama seperti arena lain, sekitar 50%-60% pemasukan dari penjualan tiket dikembalikan kepada peserta sebagai hadiah dan 20% untuk karyawan. “Sisanya untuk event organizer (penyelenggara kontes),” kata Sofyan Apandi, pengelola Cinere Enterprise.
Harus siap merugi
Apandi menambahkan, rezeki pergelaran lomba burung bukan hanya dinikmati oleh penyelenggara dan peserta lomba saja. Para pedagang makanan dan minuman serta penjual perlengkapan burung kontes, seperti pakan, extra fooding, vitamin, sangkar, dan kerodong sangkar juga ikut kecipratan rezeki. “Omzet penjual perlengkapan burung tak kurang dari Rp 3 juta per event,” ujarnya.
Pemasukan dari arena kontes burung juga dinikmati masyarakat sekitar dari parkir. Dari setiap event di Cinere Enterprise, pemasukan parkir mencapai sekitar Rp 500.000. “Uang pemasukan tidak kami ambil. Dana itu seluruhnya kami serahkan ke warga sekitar,” imbuh pria 45 tahun tersebut.
Pengelola kontes burung lain yang juga memakai sistem sewa tempat adalah Yayasan BnR. Berbeda dengan penyelenggara lain, BnR hanya menggelar lomba bertaraf regional dan nasional. Salah satu tempat yang kerap disewa yaitu Lapangan Banteng. Menurut Sofyan, untuk event kelas itu, pihaknya harus merogoh kocek Rp 4 juta per event. “Biaya itu termasuk izin dan pengamanan untuk kepolisian,” tutur dia.
Dari event regional, BnR biasanya mendulang omzet Rp 120 juta-Rp 130 juta yang berasal dari penjualan 1.000-1.200 lembar tiket. Pendapatan BnR dari lomba akan membengkak jika menggelar kontes tingkat nasional.
Contohnya, tahun 2009 lalu, BnR menggelar lomba bertajuk Presiden Cup di pelataran Parkir Timur Senayan. Ketika itu, BnR mampu menjual tiket lomba hingga 4.500 lembar. Harga tiket untuk event ini berkisar Rp 200.000-Rp 1 juta. “Selain hadiah uang Rp 60 juta, kami juga memberikan door prize berupa mobil Toyota Innova dan Avanza,” ungkap Sofyan.
Tapi, tidak selamanya penyelenggara kontes burung meraup laba. Risiko rugi juga menghadang. Muchtar, pengelola Lebak Wangi Enterprise di Jalan Raya Parung, Bogor, menuturkan, ketika pengunjung sepi, pengelola harus siap menutup pengeluaran. “Kami harus tetap membayar karyawan dan juri setiap event,” katanya.
Arena lain yang lebih beruntung lantaran tidak menyewa lahan adalah Dhifa Enterprise di Jalan Eyang Agung, Ciputat. Arie BNI, Ketua Panitia Dhifa, menjelaskan, ia punya lahan sendiri seluas 2.000 meter persegi. Untuk latber, mereka bisa meraup Rp 3 juta. Sementara, dari lomba, omzet mereka bisa sekitar Rp 25 juta.
Pemasukan sebesar itu juga didapat oleh Duta Satwa Enterprise, penyelenggara kontes burung di daerah Kedaung, Ciputat, Tangerang Selatan. “Karena tidak menyewa lahan, kami tidak mengejar target. Yang penting tali silaturahmi dengan teman dan para kicau mania tetap terjaga,” kata Atin Sumaja, Ketua Panitia Duta Satwa Enterprise.
Sebagian dari mereka terlihat tengah bercengkrama sembari menyeruput kopi dan menghisap rokok bersama rekan dan koleganya di teras rumah pemilik tanah arena kontes. Ada pula yang berteduh di bawah rimbunnya pepohonan di sekitar arena sambil mempersiapkan sang klangenan-nya turun kontes. Meski tiket telah dipegang, mereka rela menanti dimulainya latihan bersama (latber) kontes burung berkicau.
Akhirnya, sekitar pukul satu siang, latber burung berkicau di Tangsel Enterprise dimulai. Dengan sigap, para kontestan pun menggantungkan sangkar berisi burung jagoannya di nomor gantangan masing-masing. Oh, iya, gantangan adalah sebutan untuk tiang tempat sangkar burung digantung.
Biasanya, gantangan yang bisa dibongkar-pasang (knocked down) itu terbuat dari besi dengan tinggi sekitar 2,5 meter sampai 3 meter. Pada bagian atas gantangan terdapat nomor peserta kontes. Nomor ini terbuat dari plastik atau pelat besi sehingga tidak mudah rusak.
Ukuran gantangan di tiap arena kontes berbeda-beda. Contoh di Tangsel Enterprise, ukuran gantangan sekitar 12 x 8 meter persegi. Dengan luas segitu, arena itu bisa menampung 65 burung kontes. Jenis burung yang dipertandingkan antara lain murai batu, cucak ijo, kacer, love bird, kenari, pentet, cucak jenggot, dan ciblek.
Walau latber berjalan lancar, suasana gaduh tidak dapat dihindari. Hampir seluruh peserta berteriak, memberikan kode dengan menjentikkan jari tangan dan bersiul menyemangati burungnya agar mengeluarkan kicauan yang merdu.
Harga burung naik
Pemandangan semacam ini memang sudah seperti menjadi tradisi di setiap pagelaran kontes burung berkicau. Para pemilik burung ingin burung jagoannya menjadi jawara. Maklum, jika menang dan mendapat selembar sertifikat juara, harga burung ocehan bisa melonjak hingga berlipat-lipat.
Tengok saja kisah Yunus, salah satu kicau mania asal Cinangka, Depok, Jawa Barat. Di tahun 2010, pria yang akrab disapa Kapuk ini pernah memiliki burung berkicau jawara jenis kacer. Burung itu ia beli dengan harga Rp 600.000. Setelah memenangi lima kali berbagai kontes burung, dia menjual burung kacernya tadi seharga Rp 3 juta. “Saya merawat burung itu sekitar dua bulan,” kata ayah lima orang anak ini.
Bahkan, sebelumnya, Kapuk pernah punya burung Murai yang ia beli seharga Rp 1,8 juta dan ia jual lagi Rp 7,5 juta. “Padahal, burung itu hanya sekali juara dan saya rawat kurang dari satu bulan,” ungkap dia.
Itu hanya contoh kecil. Ada pengalaman serupa yang lebih dahsyat. Sofyan Juandi, Kepala Divisi Produk Yayasan BnR membeberkan, dia pernah melego cucak ijo seharga Rp 40 juta. “Burung itu sudah empat kali juara nasional. Saya beli seharga Rp 1,2 juta di Pasar Pramuka. Perawatannya hanya dua bulan,” ujar dia.
Pengalaman lain, Sofyan juga pernah melepas tledekan dengan harga Rp 125 juta. Harga belinya? Cuma Rp 6 juta. “Saya membeli di arena kontes di Solo, Jawa Tengah. Burung itu sudah saya rawat setahun dan sudah juara lebih dari 50 kali. Tapi, selain dari harga jual, saya juga untung dari uang menang lomba,” imbuh Sofyan.
Asal Anda tahu, keuntungan dari lomba burung bukan hanya bisa dinikmati para peserta kontes. Pengelola arena kontes juga menangguk gurihnya laba dari hobi ini. Karena itu, jangan heran jika di kawasan Jabodetabek kian banyak lapangan tempat lomba burung.
Salah satunya, ya, Tangsel Enterprise yang baru berdiri Maret 2011. Eddo Karya, Ketua Panitia Tangsel Enterprise, menjelaskan, dari setiap latber yang digelar setiap Kamis, pihaknya bisa menjual tiket kontes 100 lembar hingga 160 lembar. Dari penjualan tiket sebanyak itu, omzet yang bisa diraup penyelenggara kontes burung sebanyak Rp 2,5 juta sampai Rp 2,8 juta per acara.
Itu baru dari pemasukan kelas latber. Pemasukan Tangsel Enterprise akan melonjak tinggi pada saat menggelar lomba besar yang biasa digelar tiap 1,5 bulan sekali. Dari hasil penjualan tiket di acara ini, Eddo bilang, omzet Tangsel Enterprise mencapai Rp 25 juta.
Pemasukan naik pesat lantaran harga tiket kontes yang dijual saat lomba berbeda dengan tiket latihan bersama. Eddo menjelaskan, saat latber, harga tiket berkisar Rp 10.000-Rp 20.000, tapi ketika lomba besar, harga tiket naik menjadi Rp 40.000-Rp 200.000.
Lazimnya, yang membedakan harga tiket adalah kelas dan jenis burung yang dipertandingkan. Harga tiket termurah biasanya untuk lomba burung yang harga pasaran dan kualitasnya terbilang standar. Sebaliknya, tiket termahal dijual untuk lomba burung yang harga di pasarnya tinggi dan kualitasnya mumpuni. Hadiah juga ikut menentukan mahal atau murahnya tiket. Makin mahal harga tiket, makin besar hadiah yang bisa didapat pemenang lomba.
Menurut Eddo, dari total pendapatan latber atau lomba besar, sekitar 60% dipotong untuk pemberian hadiah. Adapun yang 25% untuk menutup biaya operasional karyawan yang terdiri dari penjual tiket, perawat lapangan, dan juri lomba. Sisanya sekitar 15% dialokasikan untuk dana kas. Dana kas antara lain untuk membayar sewa tanah sekitar Rp 1,3 juta per bulan. Tapi, “Kami bayar sewa tanah setelah menggelar lomba, sebab di situ penghasilan yang paling besar dan ada lebihnya,” tuturnya.
Bukan hanya Tangsel Enterprise yang menyewa lahan untuk kontes burung. Langkah serupa dilakukan pengelola Cinere Enterprise. Bahkan, sewa arena kontes yang berlokasi di Jalan Pepaya Raya, Jagakarsa, Jakarta Selatan ini lebih mahal, yakni Rp 20 juta setahun.
Hanya, arena yang sudah beroperasi sejak 2009 ini lebih beruntung. Mereka mampu meraup penghasilan lebih besar dibanding Tangsel Enterprise. Dari setiap latber yang digelar saban Sabtu, Cinere Enterprise bisa mengantongi pemasukan hingga Rp 25 juta. Uang itu berasal dari penjualan tiket sekitar 600 lembar. Harga jual tiket bervariasi, mulai dari Rp 20.000, Rp 30.000, hingga Rp 50.000.
Sementara itu, pemasukan dari lomba besar yang digelar tiap dua bulan sekali bisa menembus Rp 100 juta. Tapi, sama seperti arena lain, sekitar 50%-60% pemasukan dari penjualan tiket dikembalikan kepada peserta sebagai hadiah dan 20% untuk karyawan. “Sisanya untuk event organizer (penyelenggara kontes),” kata Sofyan Apandi, pengelola Cinere Enterprise.
Harus siap merugi
Apandi menambahkan, rezeki pergelaran lomba burung bukan hanya dinikmati oleh penyelenggara dan peserta lomba saja. Para pedagang makanan dan minuman serta penjual perlengkapan burung kontes, seperti pakan, extra fooding, vitamin, sangkar, dan kerodong sangkar juga ikut kecipratan rezeki. “Omzet penjual perlengkapan burung tak kurang dari Rp 3 juta per event,” ujarnya.
Pemasukan dari arena kontes burung juga dinikmati masyarakat sekitar dari parkir. Dari setiap event di Cinere Enterprise, pemasukan parkir mencapai sekitar Rp 500.000. “Uang pemasukan tidak kami ambil. Dana itu seluruhnya kami serahkan ke warga sekitar,” imbuh pria 45 tahun tersebut.
Pengelola kontes burung lain yang juga memakai sistem sewa tempat adalah Yayasan BnR. Berbeda dengan penyelenggara lain, BnR hanya menggelar lomba bertaraf regional dan nasional. Salah satu tempat yang kerap disewa yaitu Lapangan Banteng. Menurut Sofyan, untuk event kelas itu, pihaknya harus merogoh kocek Rp 4 juta per event. “Biaya itu termasuk izin dan pengamanan untuk kepolisian,” tutur dia.
Dari event regional, BnR biasanya mendulang omzet Rp 120 juta-Rp 130 juta yang berasal dari penjualan 1.000-1.200 lembar tiket. Pendapatan BnR dari lomba akan membengkak jika menggelar kontes tingkat nasional.
Contohnya, tahun 2009 lalu, BnR menggelar lomba bertajuk Presiden Cup di pelataran Parkir Timur Senayan. Ketika itu, BnR mampu menjual tiket lomba hingga 4.500 lembar. Harga tiket untuk event ini berkisar Rp 200.000-Rp 1 juta. “Selain hadiah uang Rp 60 juta, kami juga memberikan door prize berupa mobil Toyota Innova dan Avanza,” ungkap Sofyan.
Tapi, tidak selamanya penyelenggara kontes burung meraup laba. Risiko rugi juga menghadang. Muchtar, pengelola Lebak Wangi Enterprise di Jalan Raya Parung, Bogor, menuturkan, ketika pengunjung sepi, pengelola harus siap menutup pengeluaran. “Kami harus tetap membayar karyawan dan juri setiap event,” katanya.
Arena lain yang lebih beruntung lantaran tidak menyewa lahan adalah Dhifa Enterprise di Jalan Eyang Agung, Ciputat. Arie BNI, Ketua Panitia Dhifa, menjelaskan, ia punya lahan sendiri seluas 2.000 meter persegi. Untuk latber, mereka bisa meraup Rp 3 juta. Sementara, dari lomba, omzet mereka bisa sekitar Rp 25 juta.
Pemasukan sebesar itu juga didapat oleh Duta Satwa Enterprise, penyelenggara kontes burung di daerah Kedaung, Ciputat, Tangerang Selatan. “Karena tidak menyewa lahan, kami tidak mengejar target. Yang penting tali silaturahmi dengan teman dan para kicau mania tetap terjaga,” kata Atin Sumaja, Ketua Panitia Duta Satwa Enterprise.
Sumber:
http://lifestyle.kontan.co.id/v2/read/lifestyle/77912/Duit-berkicau-riang-di-arena-kontes-burung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar